Ice cream

58 6 2
                                    

Di pagi yang cerah, Bright memulai Minggu paginya dengan rutinitas olahraga yang telah menjadi kebiasaannya. Semuanya berjalan lancar, matahari menyinari jalanan, dan langit biru memberikan sentuhan ajaib pada paginya. Namun, keheningan itu terputus ketika dering ponselnya mulai berbunyi tanpa henti. Nada-nada yang berirama menandakan bahwa seseorang sedang memanggil, memecah ketenangan paginya. Bright meraih ponselnya, tidak menyadari bahwa panggilan itu akan membuka babak baru dalam kisah hidupnya.

"Halo sayang." Satu suara lembut terdengar, membuka awal pembicaraan dalam panggilan suara itu. Bright hanya terdiam, menunggu apa yang akan orang itu katakan selanjutnya.

"Bright, bunda ada kerjaan di Jepang, sebentar lagi berangkat. bunda sudah di bandara. Boleh bunda minta tolong sama kamu nak?" Masih diam, Bright hanya diam ketika tahu sang bunda akan pergi jauh lagi darinya hanya untuk sebuah pekerjaan. Tapi satu hal yang membuatnya berfikir, Bundanya tidak pernah meminta bantuan apapun darinya, ini ada permintaan pertama yang terlontar dari mulutnya langsung untuk pertama kalinya, entah perasaan apa yang ia rasakan sekarang.

"Gimana Bright? Bunda boleh minta tolong sama kamu?"

Sekali lagi ia di hadapan pertanyaan yang membingungkan itu, Bright merenung dengan ragu. Apakah ia seharusnya merayakan bahwa sang Bunda akhirnya membutuhkan bantuannya? Ataukah seharusnya ia tetap bersikap biasa, membenamkan harapannya untuk menjadi sandaran utama bagi sang Bunda, menjadi sosok yang selalu diandalkan dan dimintai bantuan? Dalam benaknya, muncul keraguan apakah harapan itu hanyalah angan-angan semata, mengingat sang Bunda selalu menyelesaikan segalanya sendiri tanpa ada yang menemaninya. Bagi Bright, pilihan di depannya bukan sekadar pertanyaan, melainkan lembaran baru yang menguji dinamika hubungan mereka.

"Bunda mau minta tolong apa?" Dalam keheningan yang menggelayuti ruangan, Bright duduk dengan tegang, menantikan jawaban dari sang Bunda. Detak jantungnya berdenyut cepat, menciptakan nada-nada cemas di dalam dadanya. Setiap detik terasa seperti seribu tahun, dan harapannya, seperti bunga yang tumbuh di kebun hatinya, semakin berkembang pesat. Bright tidak ingin merasakan kekecewaan, namun, di balik kekhawatirannya, harapan itu terus tumbuh dengan kuat di benaknya, memayungi keputusasaan yang seakan menari di udara.

"Bunda titip anak temen bunda ya di rumah kamu, dia baru pindah dari Canada dan dia juga akan satu sekolah sama kamu. Tolong jaga dia baik-baik ya sayang, bunda percaya sama Bright."

"Harusnya dia sudah sampai rumah kamu, coba kamu cek ke depan siapa tau dia sudah sampai."

"Anaknya baik kok, bunda harap kamu ga kesepian lagi ya sayang. Karena sekarang bright akan punya teman sekamar."

"Bunda tutup telpon nya ya sayang, bunda buru-buru nih, selama di jepang kayanya bunda gaakan bisa ngabarin kamu, Bunda di jepang cuma dua bulan, jadi kalo ada yang urgent kamu bisa minta tolong om Kai disana ya sayang, bunda pergi dulu ya Bright. Bunda selalu sayang anak Bunda, Bright."

Ketika sambungan telepon terputus, sang Bunda seperti sungguh-sungguh ingin menyampaikan pesannya tanpa henti. Tanpa memberikan ruang untuk satu jawaban pun dari Bright, apakah sang Bunda menyadari bahwa putranya tidak pernah akan menolaknya? Meski demikian, sepanjang percakapan itu, ia berbicara tak henti-hentinya, mengucapkan kata-kata cinta di akhir, dan tanpa menunggu balasan cinta dari Bright, sang Bunda langsung menutup panggilan. Sebuah keheningan terbentang di seberang sana, meninggalkan Bright dengan kata-kata yang belum terucap di bibirnya.

'Rommates baru?' Bright menghela nafasnya, ternyata sang Bunda masih menginginkan nya untuk bersosialisasi dengan mengenal banyak orang, padahal Bright hanya butuh kedua sahabatnya Max dan Galih. Ia sebenarnya tidak terlalu merasa kesepian, Bright hanya menginginkan sang Bunda yang berada di sisinya daripada harus menerima orang baru di hidupnya.

Dengan langkah gontai, Bright melangkah keluar dari ruangan tempatnya berolahraga. Perlahan, ia mendekati pintu besar, dengan rasa penasaran yang mulai memenuhi pikirannya. Seakan-akan ada sesuatu yang menanti di balik pintu itu, siap menyapa dan mengisi hari-hari sunyi yang selama ini ia alami.

Saat pintu itu terbuka, hanya satu orang yang bisa dilihat oleh Bright di halaman rumahnya. Di sana, seorang pemuda menatap jalanan dengan tatapan yang tidak jelas, dan wajahnya terhiasi kesedihan yang begitu dalam. Genggaman erat pada kopernya memberi petunjuk akan ketegangan yang dirasakannya. Dari kejauhan terlihat, sinar matahari menyentuh wajahnya yang kini kian memerah seperti buah tomat. Bright yakin, anak itu sedang menahan tangisnya dengan gigih di balik ekspresi yang tampak tenang.

Dengan langkah perlahan, Bright mendekati pemuda tersebut. Anak itu masih tetap diam, tidak bergerak dari tempatnya. Bright merasa sedikit kesal, bertanya-tanya mengapa anak itu tidak langsung berdiri di depan pintu dan mengetuknya. Sebaliknya, dia harus berdiri di tempat yang panas, dengan wajah sedihnya tanpa sepatah kata pun. Itu sedikit terlihat menyedihkan.

Bright menyentuh pundak anak itu, untuk menyadarkan nya dari lamunan bukan sapaan yang Bright dapat tapi ia malah diberi sebuah pelukan dengan Isak tangis yang terdengar sangat menyayat hatinya.

Pemuda, yang namanya belum diketahui oleh Bright, terus menangis sambil menunjuk ke arah jalanan. Bright mengikuti pandangan pemuda itu dan melihat sebuah ice cream yang sudah meleleh, menyatu dengan aspal. Kini, Bright menyadari alasan di balik air mata yang mengalir di pipi pemuda di pelukannya. Namun, dalam keheranan, Bright tidak bisa menyelami kepenasaran mengapa pemuda itu harus menangis begitu deras untuk sepotong ice cream yang terjatuh. Baginya, itu hanya sebuah kisah sepele yang bisa digantikan dengan mudah di supermarket terdekat.

"Udah jangan nangis, nanti kita beli ice cream nya lagi." Bright memberinya ketenangan agar segera berhenti menangis, Bright bisa memberikan sebanyak apapun Ice cream yang pemuda itu inginkan, asal ia berhenti menangis.

"G-gue gapunya uang lagi hiks." Jawabnya susah payah, Itu adalah uang terakhirnya dipergunakan dengan penuh perhitungan, namun setelah usaha keras, saat ia hendak mencicipi kelezatan Ice cream, nasib berkata lain. Dengan penuh ironi, Ice cream yang begitu dinanti jatuh begitu saja ke tanah, meninggalkan perasaan kecewa yang menggelayuti hatinya.

Dengan langkah hati-hati, Bright memimpin pemuda itu masuk ke dalam rumahnya. Mata-mata penasaran yang melihat mereka dari kejauhan membuatnya merasa perlu melindungi pemuda itu dari kemungkinan tuduhan tak adil. Bright merasa takut, merasa terpojok oleh pandangan orang lain. Baginya, kesedihan yang terpancar di wajah pemuda itu hanyalah karena ice cream yang jatuh, namun dunia di sekitarnya mungkin tak memandang sehalus itu.

"Masih mau nangis?" Tanya Bright, setelah membantunya untuk duduk di sofa.

Yang di tanya hanya mengangguk, masih dengan Isak tangisnya. Bright yang mendapatkan jawaban seperti itu hanya bisa menghela nafasnya lelah, lalu meninggalkan pemuda itu sendiri.

Setelah beberapa menit menangis, akhirnya ia mulai merasa lelah. Melihat di sekitarnya rumah yang begitu besar, sekarang ia baru sadar baru saja memasuki rumah orang asing karena terlalu larut dalam kesedihannya.

"Gue dirumah siapa?" Tanyanya pada diri sendiri, merasa bingung karena ia tadi tidak terlalu jelas melihat wajah seseorang yang memeluknya.

Setelah menunggu dan berfikir, akhirnya ia memutuskan untuk segera kabur dari rumah itu, sebelum ketahuan. Tapi saat langkahnya hampir sampai didepan pintu besar itu, ia melupakan sesuatu.

"Koper gue?!" Paniknya, berbalik hendak mencari kopernya, tapi satu suara menginterupsi kegiatannya.

"Cari apa?"

TBC

A Roommate Error [ BRIGHTWIN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang