Blaze selalu berisik, ditengah kericuhan, Blaze menemukan sosok paling diam yang pernah ia temui, sukses membuat seluruh perhatiannya jatuh pada eksistensi pendiam tersebut.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Halilintar berkata benar. Dia seratus persen benar. Lagipula, perasaan Blaze tentang Ice hanya sebatas ia tertarik bukan semata-mata ia akan rela melakukan apapun untuk Ice. Itu hanya sekelebat perasaan kagum atas betapa indah nya rupa yang Ice miliki. Blaze mencoba untuk mengelak bahwa itu bukan perasaan yang mutlak.
Dibanding dengan hal itu, Blaze cukup takut untuk memulai. Bagaimana perspektif masyarakat akan menghakimi- ia terlalu takut bahwa ia akan terlampau jauh.
Sesuatu yang tidak ingin Blaze alami sekali lagi.
Blaze bisa merasakan dadanya yang kian sesak, perasaan sesal yang telah ia kubur dalam-dalam perlahan naik ke atas permukaan, membuat setiap nafas seolah direnggut begitu saja.
Bukan salah Blaze bila ia memiliki pandangan yang berbeda. Bukan salah Blaze bila ia bertindak nekat untuk mencintai hal yang salah dalam masalalunya.
Mereka membuat Blaze merasa kesulitan pada apa yang ia anggap benar dan itu berpengaruh pada masa kininya.
"Kak Blaze!" Sebuah tepukan pada bahu mengaburkan lamunannya. Blaze menoleh dengan perasaan cemas. Apa ada seseorang yang sudah tau akan perasaannya selain Halilintar?
Terkadang orang itu cukup tau segalanya.
"Iya?" Blaze mengerjapkan mata seperti orang linglung. Pelaku orang yang menepuknya sedikit pendek, membuat Blaze harus menunduk. "Kenapa?"
"Kakak jalannya ngelamun" Itu adalah adik kelasnya; Thorn. Blaze cukup mengenalnya ketika Thorn menginjak tahun pertama di sekolah, kebetulan Thorn adalah ketua klub seni rupa. Orang yang dimaksud Blaze untuk mengenalkan nya pada Ice beberapa bulan yang lalu.
Ah, Ice...
Ia yang sedari tadi membuat fikiran Blaze kacau. Bagaimana bisa siswa baru itu membuatnya terganggu seperti ini?
"Hahaha maaf, Thorn punya urusan sama aku?"
"Oh iya!" Thorn nampak mengotak-atik totebag miliknya setelah itu ia memberikan Blaze sebuah kotak biru yang cukup besar dan berat, membuat Blaze mengerutkan kening; bertanya-tanya akan isi kotak tersebut.
"Itu kotak cat air milik kak Ice, kalian satu kelas kan? Aku titip ini untuk nya, itu tertinggal saat eskul kemarin"
Blaze mengangguk, mencerna kalimat Thorn dengan lambat hingga setelah ia paham, mulutnya tanpa sengaja terbuka sedikit lebar. "Aku ngga bi-"
Tolakaan yang tak sempat terucap itu langsung dipotong oleh Thorn, "Oh ayolah kak Blaze, kalian kan satu kelas. Tolooong," Ucap Thorn dengan penuh harap. Blaze tidak akan bisa menolak bila diminta dengan sopan seperti ini, sehingga ia mengangguk.
Thorn cukup girang ketika permintaannya disetujui, "Yey, terimakasih, kak" Seperti anak kecil, Blaze selalu beranggapan jika Thorn adalah anak SMP yang dipaksa ikut kelas akselerasi. Merinding.