Diantara perdebatan Solar dengan Taufan, Blaze menjadi lebih pendiam. Ia biasanya akan ikut menyulut salah satu dari mereka atau sekedar mengadu domba. Tapi sekarang, fikirannya berkelana jauh tentang penyataannya barusan.Kenapa ia menaruh perhatian pada laki-laki yang baru ia kenal?
Membayangkan betapa manisnya Ice tersenyum cukup membuat jantung Blaze berdebar dengan kencang. Perlahan telinga nya terasa hangat, hingga senggolan dari Taufan menyadarkannya dari lamunan dan memberi tau bahwa telinga Blaze sedikit memerah. Blaze dicerca oleh banyak pertanyaan dari Taufan, kenapa telinga nya merah dan kenapa Blaze tersenyum sangat lebar seperti orang aneh. Untuk beberapa hal, Taufan akan menjadi sangat cerewet. Blaze memilih untuk bungkam dan membiarkan sang biru terjebak oleh rasa pemasaran nya sendiri hingga waktu istirahat telah usai.
Semua murid yang sedari tadi menikmati waktu rehat perlahan masuk ke dalam kelas satu persatu. Termasuk juga Blaze dan Taufan, karena kelas Solar berada disamping kelas mereka, jadi Solar tidak masuk di kelas yang sama.
Hal pertama yang mencuri perhatian Blaze adalah Ice yang sedang berkutit pada sebuah buku. Ice sibuk mencoret-coretnya sesekali kening nya berkerut dan bibir merekah itu mengatup dengan rapat.
Apa yang sedang ia lakukan?
Alih-alih duduk pada kursi disamping Taufan, Blaze justru melangkah mendekat ke arah Ice yang masih saja sibuk dengan urusan nya sendiri. Blaze menarik kursi di depan Ice, namun Ice nampak tidak terusik sama sekali. Blaze menghadapkan tubuhnya ke arah Ice, ia melirik pada buku yang sedari tadi mencuri seluruh perhatian sang biru.
"Apa yang sedang kamu kerjakan, Ice?"
Pergerakan tangan milik Ice berhenti untuk mencoret buku dan pandangan Ice kini tertuju pada Blaze yang kini menatapanya dengan penuh pertanyaan.
"Tugas sekolah dari Bu Yeema"
Oh, ayolah!
Blaze berkerut, merasa bingung dengan perilaku dari Ice. "Bahkan itu untuk dikerjakan di rumah"
"Lebih cepat lebih baik," Jawaban singkat dari Ice menjadi penutup pembicaraan. Blaze memutar otak untuk bisa berinteraksi kembali. Baginya, Ice terlampau pendiam. Kecuali ketika ia menjawab pertanyaan dari guru, justru Ice terlampau aktif.
"Kamu ingin masuk dalam klub apa, Ice?" Tanya Blaze sekali lagi
Tanpa mengalihkan perhatian, Ice menjawab "klub seni rupa"
"Oh, kamu suka seni? Aku punya kenalan yang bisa memasukan mu kesana lebih cepat"
Pergerakan Ice kini terhenti, semua perhatian nya langsung tertuju pada Blaze dangan pandangan yang sedikit melebar. Mulutnya yang nampak muram kini merekah, begitu indah, begitu hangat untuk sebuah hati yang berdegup cukup kencang —lagi.
Blaze memegang dadanya, kenapa seperti ini lagi?
"Ah... i-iya!" Kacau, nada Blaze manjadi berantakan. "Aku punya, se-setidaknya satu, kurasa, ia akan senang dengan kehadiranmu, Ice" Payah! Blaze mendadak gagap.
Blaze mengulum bibirnya, merasa payah di hadapan Ice, cukup membuatnya sedikit malu.
"Itu bagus, kamu bisa kenalin aku ke dia. Terimakasih, yaa" Ice, sekali lagi tersenyum. Dan sekali lagi, degupan yang coba Blaze tahan semakin bergerak liar.
"A-aku harus balik ke meja, d-daahh"
Gawat, Blaze seperti akan pingsan jika ia melihat senyum itu sekali lagi.
Ia duduk di samping Taufan yang terlihat bingung, "kenapa kamu?"
Blaze menggeleng, "tidak, bukan apa-apa"
Taufan mengangguk, tepat setelah itu guru memasuki ruang kelas dan memberikan pelajaran pada murid-muridnya. Fikiran Blaze melayang jauh, ia sama sekali tidak fokus dengan apa yang diterangkan oleh gurunya. Fikiran terus melayang pada memori dimana Ice tersenyum, seluruh eforia secara aneh datang menyeruak di hati milik Blaze.
Ice, nampak begitu lebih cantik saat tersenyum.
Astaga, ia bisa merasakan cairan keluar dari dalam hidungnya. Jeritan panik dari Taufan yang menjadi pertanda, bahwa Blaze tidak sedang dalam halusinasinya karena Taufan melihat darah yang keluar dari hidung milik Blaze. Temannya ini sedang mimisan!
......
Hahahaha overreacting milik blaze lucu bngt. Emang boleh sesuka itu sama Ice?
KAMU SEDANG MEMBACA
archer
Hayran KurguBlaze selalu berisik, ditengah kericuhan, Blaze menemukan sosok paling diam yang pernah ia temui, sukses membuat seluruh perhatiannya jatuh pada eksistensi pendiam tersebut.