Bab 2
“Saya... masih bisa minta tanda tangan kalian?” tanya lelaki itu yang belum beranjak dari tempatnya berdiri.
Aku masih terpaku menatap sosok lelaki yang sangat mirip River, tetapi dalam versi jauh lebih dewasa—tubuhnya lebih tinggi dan tegap dari River dalam mimpiku. Tapi entah kenapa, aku tahu... dia memang River. River-ku.
Apakah... River keluar dari mimpi untuk menemuiku setelah tujuh tahun berlalu?
“Moa.” Kak Bita menyentuh lenganku. “Gimana?”
“B-boleh, Kak. Kasihan sudah capek-capek dateng,” bisikku. Sejujurnya aku masih syok dan tidak percaya. Sebab bagaimana mungkin River keluar dari mimpiku? Rasanya mustahil. Namun sosok di depanku ini terasa begitu nyata. Meski hanya mimpi, aku masih ingat dengan jelas bagaimana cara River menatap dan tersenyum. Persis seperti yang lelaki ini lakukan sekarang.
“Boleh, Mas, silakan.” Kak Bita menjawab dengan senyum.
“Terima kasih.” Lelaki itu melangkah lebar menuju meja panjang menghampiri aku dan Kak Bita.
“Saya... penggemar berat Moana.”
Aku makin terpaku. Ketika Kak Bita tersenyum bangga kepadaku, aku justru seolah-olah merasakan sengatan kecil di dada. Detak jantungku tiba-tiba melonjak, makin kencang seakan-akan suara degupnya terdengar di telinga.
“Eh, maksud saya, saya penggemar semua buku karya Moa.” Dia mengeluarkan buku-buku karyaku dari dalam tote bag putih kemudian menumpuknya di atas meja. Lelaki itu menatapku lurus dengan senyum. “Kalau tidak keberatan, saya mau minta tanda tangan.”
Pipiku menghangat seketika. Dadaku berdebar. Ada rasa hangat menelusup di dalam sana. Dan entah kenapa itu tidak menakutkan, justru menyenangkan.
Mengangguk, aku membuka bukuku yang berjudul “Bintang untuk Angkasa” dan bersiap membubuhi tanda tangan ketika lelaki itu berkata,
“Untuk penggemar nomor satu, River.”
Seketika tanganku berhenti di atas kertas, dan mulai bergetar. Aku mendongak. Siapa namanya? River katanya?
Segala sesuatu di sekelilingku tiba-tiba berputar membuatku ingin pingsan, tetapi aku menahannya. Aku memejam dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
“Kamu... baik-baik saja?” tanya lelaki di hadapanku dengan nada cemas yang kentara. Mengingatkanku pada mimpi-mimpiku bersama River.
Aku membuka mata dan mengangguk, lalu berusaha membubuhkan tanda tangan di semua bukuku, satu per satu, dengan sangat lambat. Kupikir lelaki bernama River itu akan jengkel atau marah, tetapi ia masih berdiri dengan sabar dan tersenyum hangat. Membuat hatiku kembali menghangat.
Setelahnya, River meminta tanda tangan Kak Bita di buku kami yang katanya sudah dibaca tiga kali khatam saking sukanya. Benar-benar membuatku dan Kak Bita meleleh.
Sebelum keluar dari ruangan, River ingin bersalaman juga berfoto dengan kami. Aku malu sebab saat ini penampilanku pasti sangat kucel karena sudah beberapa jam berlalu sejak wajahku dirias tipis atas permintaan Mbak Rein. Namun melihat senyum di wajah River juga tatapannya kepadaku, luntur sudah rasa minderku, digantikan oleh debar-debar yang sangat takasing.
Parfum kayu-kayuan yang River pakai di kemejanya begitu harum. Mengingatkanku pada aroma hutan di dalam bunga tidurku. Dan tanpa sadar aku menghirupnya dalam-dalam.
Setelahnya, River mengucapkan terima kasih kemudian mengeluarkan sesuatu dari tote bag-nya yang lain. Ia memberikan masing-masing sekotak cokelat mewah dan mahal untukku dan Kak Bita.
KAMU SEDANG MEMBACA
River: A Man Who Came in My Dreams (On Going)
RomanceRiver: A Man Who Came in My Dreams by Septi Nofia Sari & Emerald Dalam kisah yang ia tulis bersama Bita, Moana menceritakan tentang sosok tak dikenal yang menghiasi mimpinya selama bertahun-tahun. Buku itu disambut antusias oleh banyak pembaca, sehi...