Bab 3

181 56 3
                                    

Bab 3

Aku jadi berbalas pesan dengan River sejak tiga hari lalu. Sebenarnya ingin menghindari karena takut, tapi aku juga penasaran. River rutin mengirim ucapan selamat pagi, selamat makan, bagaimana hariku, dan selamat tidur. River juga aktif menanyakan apa pun tentang aku, baik makanan kesukaan maupun yang lain.

River bahkan sering mengangkat topik menarik tentang drakor-drakor seru yang membuatku terpancing untuk menanggapi. Sejujurnya aku merasa aneh karena River menyukai drakor genre romance, tetapi hak setiap orang untuk menyukai sesuatu—apa pun itu—bukan? Asal tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

“Moa suka donat?”

“Suka banget.”

“Oke.”

Aku mengirimkan emoji senyum. Sebisa mungkin aku tidak menunjukkan antusias yang berlebihan ketika chatting dengan River. Setelah itu, River tidak lagi membalas pesanku. Tidak ingin menunggu—aku tidak ingin kecewa atau berharap berlebihan—aku pun memutuskan untuk menulis cerita baru di aplikasi Word di ponselku.

Setengah jam kemudian saat aku baru saja berniat untuk beristirahat setelah menulis separuh bab, tiba-tiba terdengar pintu rumahku diketuk.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Terpaksa aku mengurungkan niat untuk beristirahat dan menjalankan kursi rodaku menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Ternyata Bang Aji yang bertamu. Dia membawakan makan siang untukku, titipan dari Bang Maha katanya.

“Makasih, Bang.”

Bang Aji cengar-cengir saja. "Cepet makan sekarang. Kata Maha, gue harus nunggu sampe makanan lo abis.”

Aduh, Bang Maha ini terlalu khawatir sama aku. Masa aku harus makan siang ditemenin Bang Aji, sih? Kan malu. Ya walaupun kami sudah sangat sering makan bersama, tapi jika tidak ada Bang Maha di tengah-tengah kami, rasanya agak aneh.

Namun akhirnya aku terpaksa makan juga. Saat kutawari Bang Aji, dia menolak dengan halus karena katanya sudah makan di bengkel.

Baru saja aku selesai makan siang, tiba-tiba seorang kurir datang ke rumah. Bang Aji yang sedari tadi duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya, spontan berdiri dan melangkah ke pintu yang memang sengaja dibuka—agar tidak memancing desas-desus para tetangga—untuk menyambut si kurir.

“Ada paket makanan buat lo,” ujar Bang Aji sambil berjalan menuju meja makan tepat setelah si kurir pergi. Bang Aji lantas membantuku membukakan boks cokelat yang ternyata berisi donat.

“Dari siapa, Bang?”

“Kurirnya nggak bilang. Pas gue tanya tadi katanya nggak tau.”

Di tengah kebingunganku, tiba-tiba ponselku berdenting, tanda pesan masuk ke akun Instagram milikku. Dari River.

“Donatnya sudah sampai?”

Aku memekik terkejut, membuat Bang Aji melompat.

“Kenapa, Moa?”

Aku menggeleng malu. “Te-ternyata yang kirim donat ini pembaca novel aku, Bang.” Aku menunjukkan potongan chat-ku dengan River kepada Bang Aji.

Bang Aji mengangkat kedua alisnya. “Kirain kenapa kamu teriak.” Ia lalu meledekku, “Ciee yang punya penggemar. Mana royal lagi. Maha cerita katanya kamu dapat cokelat mahal dari cowok. Orang yang sama?”

Aku mengangguk. Wajahku terasa panas karena malu dan senang. Namun di sisi lain, aku masih kaget dan agak kurang nyaman karena donat kiriman dari River ini.

“Lo takut ada pelet di donatnya?” tanya Bang Aji yang mengerti ketakutanku.

Aku mengerjapkan mata. "Bukan pelet, sih, tapi..."

River: A Man Who Came in My Dreams (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang