Bab 4

187 60 7
                                    

Bab 4

Malam ini aku demam tinggi dan seluruh tubuhku sakit, hal yang biasa terjadi ketika akan memasuki datang bulan. Di dalam mimpi, aku kaget karena ketika membuka mata, melihat sosok yang aku kenal dan kurindukan tengah duduk di sofa depan ranjang. Dadaku seketika berdebar-debar kencang.

Setelah tujuh tahun, sosok River kembali datang ke dalam mimpiku! Penampilannya masih sama seperti tujuh tahun lalu. Bukan mimpi sama yang berulang tentang perpisahan, tetapi sebuah mimpi baru. Kali ini River memakai kaus panjang warna abu-abu dan celana jeans putih. Sosok itu tersenyum dengan tatapan hangat yang kurindukan, lalu menggenggam tanganku.

“River ....”

“Kamu kesakitan?"

“Sakit banget."

“Tidak apa-apa. Kamu bisa melalui ini semua. Ada aku."

Mataku terasa panas dan dadaku sesak. "Kamu nggak akan pergi lagi, River?"

River menggeleng. "Moa, aku selalu bersama kamu."

Aku membuka mata dan terbangun dengan wajah sudah basah oleh air mata. Dadaku terasa sesak sekali. Aku begitu merindukan River. Aku tersenyum dalam tangisku. Akhirnya River-ku kembali setelah tujuh tahun dan aku tidak akan kesepian lagi.

River, kamu tidak akan pergi lagi, kan?

***

Siang hari, Kak Bita datang berkunjung bersama adiknya, Radhika yang biasa kupanggil Radhi—dia lebih muda setahun dariku dan baru saja diwisuda. Kak Bita membawa buah tangan yang kemudian kami nikmati sambil membahas beberapa drakor terbaru yang sepertinya menarik. Lebih tepatnya aku dan Kak Bita mendengarkan analisis Radhi tentang drakor bergenre action, thriller, fantasy, dan romance. Sesekali aku dan Kak Bita menimpali hanya di bagian romance. Kata Radhi, dia jadi suka nonton drakor—itu pun hanya action atau thriller—gara-gara sering dipaksa sepupu Kak Bita, Delisa, untuk menemaninya menonton drakor.

“Kapan-kapan kalian harus buat novel thriller romance dong. Request dari orang ganteng nggak boleh ditolak, nih.” Radhi menaik-turunkan alis sambil menatapku membuatku tersenyum geli.

Di tengah keseruan kami, tiba-tiba seorang kurir datang. Ternyata mengantarkan makanan berupa ikan bakar, susu almond, dan salad buah. Masing-masing tiga porsi.

“Ini semua Moa yang pesen buat kita?” tanya Radhi sambil menyeringai menatap bungkusan di atas meja ruang santai. Tadi Radhi yang menerima paket ke depan.

Aku mengembuskan napas berat. Ketika Kak Bita dan Radhi datang, aku memang bilang kepada River bahwa aku kedatangan tamu. Namun, aku tidak menyangka jika River akan langsung mengirimkan makanan dan minuman untuk kami. Aku benar-benar merasa tidak nyaman sekarang.

“Kenapa, Moa?” tanya Kak Bita. “Eh... apa jangan-jangan semua makanan ini bukan kamu yang pesen?” tebaknya.

“Kok Kak Bita tau?”

Kak Bita mengangkat bahu. “Cuma nebak.”

Aku kembali menghela napas berat. “Kak Bita ingat sama River?”

“River? Oh, yang telat datang ke acara bedah buku kita itu? Inget banget, dong.” Kak Bita langsung bisa menebak. “Maksud Moa, yang kirimin paket ini tuh River?”

Aku mengangguk. “Di hari yang sama setelah acara bedah buku, tiba-tiba River dm ke Instagram aku terus kami jadi suka ngobrol. Setelah itu... River jadi sering kirim paket makanan buat aku ... mungkin udah sekitar semingguan ini.”

“Kamu nggak nolak?”

Aku menatap Kak Bita. “Nggak enak nolaknya, takut River kecewa. Tapi masalahnya ... aku tuh nggak pernah kasih alamat rumahku ke River, tapi dia bisa tahu alamatku.”

“Men.cu.ri.ga.kan.”

Aku dan Kak Bita menoleh ke arah Radhi yang tengah berdiri sambil mengusap-usap dagunya.

“Maksud kamu... dia kayak Reiji?” tanya Kak Bita dengan suara tiba-tiba bergetar membuatku ikut takut. Reiji adalah mantan Kak Bita yang selama ini menciptakan teror dan badai di dalam kehidupan Kak Bita yang untungnya telah usai dan kini lelaki itu mendekam di tempat aman dan tidak bisa lagi menjangkau dunia luar.

“Bisa jadi. Aku mencium bau-bau misteri, nih.”

“Jangan nakut-nakutin, dong, Radhi,” omel Kak Bita yang melihatku justru makin gemetar ketakutan. Kak Bita langsung memelukku dari samping.

Jujur saja aku sekarang jadi takut kepada River di dunia nyata. Bagaimana kalau dia ternyata sejenis dengan Reiji?

Radhi tergelak. “Ya maaf, Embak. Maaf juga ya Moa. Bukan apa-apa, tapi kan kita patut waspada, apalagi Moa baru kenal, kan. Moa nggak tanya sama River, dari mana dia dapet alamat kamu?”

Aku yang memegang satu lengan Kak Bita, mengerjapkan mata. Namun dengan embusan napas beras, aku menggeleng. "Enggak."

"Lah, kenapa?" Kedua alis Radhi bertaut.

"Kenapa, Moa?" Kak Bita juga bertanya, bersamaan dengan Radhi.

"Aku... takut dia tersinggung karena mikir aku curigain dia," kataku ragu.

Radhi langsung berdecak sambil bangkit berdiri. Bertolak pinggang, dia berkata, "Ini nih, sifat yang aku nggak suka. Kamu mirip banget sama embakku, Moa. Nggak enakan. Selalu mikirin perasaan orang lain daripada diri sendiri." Dia menatap kami berdua bergantian sambil geleng-geleng kepala. "Itu yang bikin orang bisa seenaknya sama kalian."

"Radhi ...." Kak Bita menegur adiknya.

Radhi cemberut dan kembali duduk. Matanya menatapku lurus. "Bang Wira tahu soal ini?"

Bang Wira adalah Bang Maha. Nama lengkapnya Mahawira. Dulu saat SMA, Bang Maha berteman dengan Kak Bita, Kak Bian, dan teman-teman Kak Bian yang lain. Di sekolah, mereka memanggil abangku itu dengan sebutan 'Wira'.

"Soal River yang kasih makanan, tahu." Malam hari di mana siangnya Bang Aji datang, Bang Maha memang mampir ke rumah. Lalu Ibu bercerita soal donat itu. "Tapi soal dari mana River dapat alamat rumahku, Abang nggak tahu."

Radhi berdecak lagi. "Kenapa nggak ngasih tahu dia? Kamu emang sama sekali nggak curiga apa sama orang itu?"

"Agak nggak nyaman, tapi ...,"

"Tapi nggak enakan," potong Radhi, tentu saja menyindirku.

Aku meringis, begitu pun Kak Bita di sebelahku.

"Gini aja, mending sekarang kamu chat orang itu."

Keningku berkerut. "Chat?"

Radhi mengangguk. "Tanyain, dari mana dia tahu alamat rumah kamu?"

Aku menatap Radhi ragu, lalu beralih ke arah Kak Bita yang tampak berpikir sebelum mengangguk.

"Iya, Moa. Kakak rasa Radhi ada benarnya."

Menghela napas, akhirnya aku mengangguk. Kuterima ponselku yang diambilkan Kak Bita dari atas meja, lalu menyalakan layarnya. Kubuka akun Instagram, mencari dm River, kemudian mulai mengetik kalimat yang sekiranya tidak menyinggung.

"River, maaf mau nanya, kamu dapat alamat rumahku dari mana? Bukan bermaksud apa-apa, aku hanya penasaran aja."

Namun pesan itu tidak kunjung dibalas oleh River. Bahkan hingga Kak Bita dan Radhi pamit pulang, lalu hari mulai beranjak malam, belum ada tanda-tanda jawaban dari River. Dan aku makin dirundung rasa takut dan khawatir. Jangan-jangan... River benar-benar penguntit seperti Reiji?

***

Magelang dan Bekasi, 24 Maret 2024

Septi dan Emerald8623

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

River: A Man Who Came in My Dreams (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang