06. Nilai

52 2 0
                                    

"Takut akan kegagalan seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak mencoba sesuatu."— Cakrawala Dirga Ananta.
.
.
.

"Kak, hati-hati. Awas itu licin." Himbau Hadden kepada Cakra dengan tangan yang cekatan.

"Alay, banget. Licin ya tinggal jatuh apa lagi" cetus Zuri secara tiba-tiba.

Zuri, Liam, dan Hadden sedang berada di rumah sakit. Masa pengobatan Cakra hampir habis. Dan, tepat pada hari Selasa sore Cakra sudah di perbolehkan pulang.

"Kamu! Zuri! Lancang banget ya mulut kamu. Susah sekali bicara pakai bahasa Indonesia? Mau pakai bahasa monyet?" Jawab Liam mendekat kan tubuh nya ke Zuri.

Zuri yang merasa agak sakit hati mendengar penuturan kalimat dari Liam. Mendenguskan hidung nya." Lo, pakai bahasa monyet ngomong nya sama monyet aja ya?" Tegas Zuri seraya berjalan menjauh ke arah kursi. "Kalo perlu ngomong sama hewan saja sana sekalian" sambungnya.

"Kamu!"

"Udah LIAM! Jangan main tangan sudah" peringat Caka.

"Tapi kak—"

"Sudah. Yaudah pulang yuk Sarhan sama Sakha udah masak. Cepetan pulang kita, pasti sudah di tunggu itu." Celah Hadden mencairkan suasana.

Mendengar penuturan dari Hadden mereka bersiap untuk pulang kerumah.

Cakra sebagai anak paling tua dan paling peka terhadap kondisi fisik para sang adek mendekat pergelangan tangan Zuri yang hendak keluar. "Dek. Kamu gapapa? Kamu sakit dek? Apa yang sakit? Mata kamu merah" tanya pasif Cakra memastikan.

Mendengar hal itu Zuri pun menjawab dengan seadanya. "Peduli banget Lo? Lagian gue nih Ultramen gausah di pedulikan. Urus saja adek-adek Lo yang banyak kurangnya." Singkat Zuri dengan lugas melepaskan cekatan itu.

Cakra yang mendengar pasifnya perkataan Zuri itu, hanya memberikan sunggihan senyuman kecil. Karena Cakra tau gimana Sifa Zuri adeknya itu.

* * *

"Kak Cakraaaaaa. Kangen tau." Manja mereka, berlarian menuju Cakra dan melepaskan rindu.

"Kakak juga kangen tau. Padahal cuman dua hari saja tapi kangennya melebihi panjang samudra iya ga si?" Jawab Cakra.

"Heheh iya kak Cakla."

Zuri yang mempunyai sifat malasnya, terlebih lagi melihat pemandangan yang mungkin tidak ia sukai hanya bercicit. "Lebay tau ga? Cuman dua hari kayak anak kecil. Umur sudah gede kelakuan macam anak kecil. Gimana dengan selamanya?"

"Ladenin kalian itu nguras tenaga banget tau ga si?." Singkat Zuri berjalan ke dapur mengisi kekosongan perutnya.

"Sudah ya. Kita makan sama-sama. Kak Cakra sudah lapar nih." Cicit Cakra.

"Eh, iya kak lupa maaf ya" jawab Yazzan.

"Yasudah yok." Ajak Hadden.

Mereka bertujuh. Anak yang mempunyai keunikan masing-masing. Mengikhlaskan apa yang mereka dapatkan dari sang pencipta. Mencoba tegar dengan kehidupan itu. Anak yang dituntut sang pencipta untuk kuat. Mereka adalah INI KITA!.

* * *

Selepas mereka makan bersama. Zuri adalah orang pertama yang menghabiskan makannya, dan bergegas menuju kamar.

Cakra yang melihat gerak gerik Zuri yang begitu lemas. Akhirnya, menyusul Zuri ke kamar. Meskipun kondisi dia sendiri belum fit.

"Lo? Ngapain? Kesini?" Tanya Zuri yang mendengar suara pintu terbuka.

Zuri yang posisinya sedang berada di meja belajar. Dan, menampakkan kertas dengan satu nilai yang tertulis disana. "Lo ngapain? Gue tanya. Jangan cabul Lo ya!" Tanya Zuri yang sibuk membereskan meja belajarnya.

Cakra yang sedari tadi bergeming seolah tidak mendengar apa yang di tanya oleh Zuri. "Gak ngapa-ngapain. Pengin kesini. Pengin cerita tentang hari ini. Pengin dengar cerita apa saja yang di Zuri lakukan seharian ini." Cicit Cakra mendekat kan dirinya ke Zuri." Kenapa? Ada apa? Cerita dek."

Cakra yang siap menjadi pundak. Cakra yang siap menjadi teman, Cakra yang siap menjadi pendengar untuk keenam adeknya. Dan, Cakra yang paling peka terhadap adeknya.

Cakra melirik ke meja belajar, dan melihat sebuah kertas yang di tandai dengan satu nilai." Ayo, bicara kenapa? Dan, ada apa?." Tanyanya lagi, menarik perlahan telapak tangan Zuri. Mengelus hangat punggung tangan nya.

Zuri yang mendapatkan perlakuan seperti itu dengan kasar melepaskannya." Lo! Apa-apaan si! Lo cabul CAKRAAA!" Bentak Zuri seraya melempar sebuah buku tepat di wajah ganteng Cakra.

"LO! PERGI GAK, GUE MUAK PLISS. PERGI SANA!"

"MUAK DENGAN MUKA KALIAN PLISSSS."

Cakra yang melihat tindakan Zuri ini, hanya diam dan tak bersuara. Karena Cakra tau Zuri sedang melampiaskan emosinya dengan cara seperti ini. "Zuri ayo lakukanlah sampai emosi adek sudah mereda." Cetus Cakra dengan pasang badan yang kuat.

Zuri yang mendengar apa yang di katakan Cakra dengan lugas mengambil sebuah piring yang dekat di meja belajar nya segera melempar kan di wajah Cakra.

Trakkk

Sebuah suara yang berhasil mendarat di wajah Cakra. Suara yang berhasil meredakan emosi Zuri. Dengan napas yang menggebu-gebu Zuri pun tidak bisa melanjutkan apa yang ia mau.

Perlahan-lahan Zuri mengeluarkan suara isak tangis pilu. "G-gue gagal." Tangisnya seraya membanting tubuhnya ke kasur.

Cakra yang mendengar hal itu, perlahan mendekat ke kasur Zuri. " Gagal kenapa dek?"

"Aku dapat nilai yang jelek. Aku pasti sudah gagal, Ayah Devan sama Bunda Aza pasti kecewa." Jawab Zuri dengan tangisnya yang deras. Yang mulanya pakai gue sekarang

Mendengar hal itu, tangan lembut Cakra perlahan mengelus embun kepala Zuri dengan lembut. " Tidak ada yang namanya gagal. Mungkin kelemahan Zuri ada di Matematika, sedangkan di IPA Zuri mendapatkan nilai yang bagus bukan?" Tutur Cakra.

"Tapi aku malu dengan nilai segini. Pasti Ayah Devan sama Bunda Aza sedih." Jawabnya dengan nada bersalah.

"Tidak. Mereka tidak sedih dek. Mereka bangga dengan hasil yang di dapatkan Zuri." Yakin Cakra kepada Zuri.

"Takut akan kegagalan seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak mencoba sesuatu." Nasihat Cakra. "Setiap manusia mempunyai kualitas tersendiri dan kapasitas nya. Tidak ada yang namanya gagal untuk ini jika ingin berhasil." Sambungnya.

Cakra merenggakan tangan dan mendekap tubuh Zuri ke dekapan pelukannya." Jika ingin mendengar berhasil, maka harus mendengar kata gagal dek." Sahut Cakra seraya menyeka rambut Zuri yang menghalangi daun telinga Zuri.' Gagal berkali-kali, ayo coba berkali-kali'


( Bersambung )

INI KITA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang