05. GGK

73 4 1
                                    

"Aku menemukan apa yang di cari selama ini"— Cakrawala Dirga Ananta.

.
.
.

"MANA INI SEPATU KU!" Bentak Zuri di pagi hari.

Senin adalah hari yang paling dibenci oleh Zuri. Karena terdapat mapel yang paling ia tidak suka yaitu matematika." Haisshh, mana ini topiku! Mana lagi dasi ku, tali pinggang ku." Dumel Zuri yang dari tadi wara-wiri tidak karuan.

Pemandangan di pagi hari setiap mau berangkat bersekolah. Suasana yang begitu ruwih yang bakal dikenang, apalagi terdapat Devan dan Aza. Betapa ruwih nya rumah ini.

"Makanya, udah tau mau upacara. Bukannya disiapin dari malam, kak Cakra kan sudah memperingati." Sahut Yazzan dengan nada datarnya. Yazzan yang sedari tadi melihat betapa ruwih sekali hidup di Zuri.

"Hidup sudah stres, di tambah lagi dengan stresnya suara Zuri" sambungnya.

Mendengar hal itu, Zuri yang mempunyai kesabaran setipis tisu. Membawa satu sepatu sekolahnya dan melemparkan ke arah muka Yazzan. "Oma! Jinjia tidak ada rasanya pun." Jawab Yazzan dengan bahasanya yang Korea.

"Ya mau gimana lagi. Kau kan emang tidak punya perasaan tau! Jangan sampai tidak punya perasaan membuat mu melakukan hal buruk."

"Omo, saja" singkat Yazzan kemudian berjalan menuju keluar rumah. Dengan pakaian putih abunya, lengkap dengan atribut yang melekat di tubuhnya.

"Yasudah, kamu mau ditinggal saya? Cepetan saya tidak punya waktu untuk itu." Sahut Yazzan memperingati Zuri .

"Dih, sabar lah"

"Tidak ada. Mau saya tinggal nona Zuri?"

"Iya, iya sabar manusia batu. Lagi pakai sepatu ini"

"Mana Cakra gue mau minta duit sepuluh ribu"

"Gausah, ini udah dikasih kita berangkat. Sudah di tunggu sama kak Hadden, kak Sarhan, Sakha, dan Liam.

"Ya"

Yazzan, Zuri, Sarhan, Sakha, Liam,dan Hadden sama-sama satu arah menuju ke tempat tujuan. Sementara itu, Yazzan, Sakha, Liam, dan Zuri pergi menuju ke sekolahnya. Sedangkan Sarhan pergi menuju kampusnya.

* * *

"Hukk, hukk" Suara batuk yang memenuhi ruangan kamar mandi itu. Secarik darah terletak di wastafel kamar mandi.

"S-sakit. Banget ya Allah. To-tolong bertahan sekali lagi." Gumam Cakra memegang perut bagian bawah nya dan meremasnya begitu kuat.

Ntah, berapa lama Cakra tidak melakukan cuci darah, mungkin ada hampir satu bulan. Cakra tidak lupa dengan rutinitas wajibnya, akan tetapi biayanya tergeser dengan kebutuhan sang adek.

Cakra berjalan tertatih mengambil kotak celengan yang berbentuk ayam, pemberian dari Aza. "Apakah aku harus menggunakan uang ini? T-tapi bagaimana dengan kebutuhan selanjutnya? Aku ambil sedikit untuk membeli obat pereda nyeri saja." Pikir Cakra walaupun masih ragu-ragu.

Dengan tangan bergetar di ulasi dengan wajah yang begitu pucat sekali. Cakra berjalan menuju apotek untuk membeli obat Analgesik. "Ssh-h, sakit sekali." Desus Cakra yang disertai rasa sakit yang begitu dalam.

INI KITA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang