Bab 1

267 77 7
                                    

"Na, pulang gih. Udah malam. Sama Leo aja, jangan naik kendaraan umum. Tadi Mas udah bilang biar Leo antar kamu," ucap Mark sambil memasuki ruang rawat inap ibunya. Rupanya laki-laki itu sudah kembali dari mengantar teman perempuannya yang tadi datang bersama Leo.

"Aku pulang sendiri aja. Belum malam juga kok," tolak Regina sambil membetulkan selimut Tante Hera. 

"Jangan ngeyel. Mas cuma nggak mau ada apa-apa sama kamu. Ini udah malam, Na. Leo udah nunggu di luar. Udah sana." Laki-laki itu memaksa Regina untuk pulang bersama Leo. Tidak salah. Mark hanya khawatir. Hanya saja ia tidak tahu kalau gadis itu sedang menahan kesal. Ada hubungan apa antara Mark, Leo dan perempuan yang barusan menjenguk Tante Hera?

Gadis itu mendengkus tak senang. Namun, badannya kemudian beranjak dari duduknya dengan terpaksa. Ia menyeret kakinya keluar dari ruang rawat inap tersebut.

"Na," panggil Mark ketika gadis itu hendak membuka pintu. Regina menoleh dengan raut wajah kesal, mengundang tawa lirih laki-laki itu. "Hati-hati, ya. Soal yang tadi, namanya Maurie. Teman aku."

"Hm," jawab Regina singkat lalu keluar. Kata  Teman aku membuat gadis itu bernapas sedikit lega. Ia mengangkat wajah, mendapati Leo bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada.  

Gadis itu berhenti sejenak dari langkahnya. Ia menatap Leo sebelum kembali berjalan. Sengaja, Regina melewati laki-laki itu tanpa menoleh sedikitpun. Ia juga mempercepat langkah kakinya.

Dari tempatnya berdiam, Leo hanya menatap punggung gadis itu dengan tawa kecilnya. Ia lalu berjalan setelah membiarkan gadis itu berlalu beberapa meter. Kaki panjangnya dengan mudah menjajari langkah gadis itu.

"Parkirannya di sana, paling ujung. Dekat pintu keluar," ucap Leo ketika gadis itu mengambil langkah lurus ke depan menuju jalur pejalan kaki.

"Nggak nanya!" ketus Regina. Meski sudah bertemu kembali sejak tujuh tahun lalu, jangan berharap semua akan kembali baik. Dirinya dan Leo adalah pengecualian.

"Ngasih tahu. Mau belok apa tunggu di sini apa aku telepon Mark?" sahut Leo dengan santai. Regina menoleh dengan alis bertaut. Ia mendapati sebentuk seringaian bernada mengancam di wajah laki-laki yang sialnya, ia harus mengakui kalau semakin dewasa, kadar tampannya semakin bertambah. Rambutnya coklat sedikit bergelombang tertata rapi seolah menambah kadar ketampanan itu.

"Sorry, aku bisa…"

"Jangan kemana-mana!" potong Leo tegas lalu bergegas meninggalkan Regina di Lobi rumah sakit swasta itu.

Mungkin bagi para gadis di luar sana, apa yang dilakukan Leo adalah gentle, romantis, wujud sayang. Namun, ketegasan Leo bermakna lain bagi Regina. Ucapan Leo seperti memerintah, arogan. Sayangnya, gadis itu saat ini memang tidak memiliki pilihan, selain diam menghela napas. Tidak berapa lama, Leo datang dengan mobil hitamnya.

"Masuk," perintah Leo setelah menurunkan kaca mobil. Gadis itu melengos.

Regina masih bersikukuh untuk pulang sendiri. Ia tahu, ini bukan pertama kalinya ia berurusan dengan Leo. Sejak tujuh tahun lalu, ia bertemu lagi dengan Leo, rasanya tidak pernah tidak menarik urat.

"Masuk sendiri apa dipaksa?" 

Gadis itu menggeram. Ia menghentakkan kakinya lengkap dengan tatapan kesalnya ke arah Leo. Sementara laki-laki itu membalasnya dengan tatapan serius. Antrean mobil di belakang Leo, mau tidak mau membuat Regina akhirnya masuk ke mobil. Diam-diam laki-laki itu tersenyum puas. Ia lalu melajukan mobil meninggalkan rumah sakit saat waktu menunjuk pada angka sebelas malam.

"Turunin di halte depan aja," ucap Regina setelah beberapa menit meninggalkan rumah sakit, ada halte TransJakarta.

Laki-laki itu menaikkan alis. Ia menanggapi ucapan gadis itu dengan menambah kecepatan mobil hingga melewati halte itu cukup jauh, baru menurunkan kembali kecepatannya.

"Sengaja banget, ya?!" Gadis itu menatap sinis.

"Udah malam," jawab Leo singkat. Ia tahu gadis di sampingnya sedang dongkol setengah mati.

"Maka dari itu. Daripada kamu muter jauh, turunin di halte…" Regina menghentikan kalimatnya ketika ponselnya berdering di dalam tas mungil produksi eropa. Ia segera mengambil ponselnya dan menjawab panggilan telepon. "Iya, kenapa, Sam? Aku? Lagi di jalan mau pulang. Gimana?"

Diam-diam Leo menyimak pembicaraan itu. Disadari atau tidak, mobil itu kini melaju lebih cepat dari sebelumnya. Sialnya, lagu Denting yang diaransemen ulang oleh penyanyi Petra mengalun merdu membuat Leo turut hanyut di dalamnya. Ia nyaris kehilangan kesadaran sampai-sampai mobilnya melesat cepat. Debaran keras dan perasaan marah itu bergelut di dalamnya. Decitan ban terdengar kala Leo kembali dapat mengendalikan diri. Ia segera menepikan mobilnya dan berusaha keras menyembunyikan perasaannya. Sekilas dilihatnya gadis itu terdiam syok. 

"Turun," ucap Leo dingin tanpa menoleh. 

Gadis itu tergagap. Ia menegakkan tubuhnya lalu menatap ke sekeliling. Tawa lirih keluar dari bibir berlipstik ombre. Ia nyaris tidak bisa memercayai bagaimana bisa seorang Leo memperlakukan dirinya seperti ini. Entah apa yang laki-laki itu ingini. Padahal ia sudah meminta dengan baik untuk diturunkan di halte TransJakarta tadi. Tapi sekarang, laki-laki itu dengan tak berperasaan menyuruhnya turun di underpass yang sangat sepi.

"Makasih," ucap Regina dengan sangat lirih. Tangannya melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil. Ia segera turun lalu berjalan tanpa menoleh. Sementara mobil itu kembali melesat tidak lama setelah Regina turun.

Sialnya, aku nggak bisa semudah itu melupakan dan memaafkan, batin Regina. Ia menarik napas berat. Baginya, sikap Leo yang datang dan pergi seenak jidat sudah membuatnya marah. Ditambah sekarang dengan konyolnya menurunkan dirinya di sembarang tempat. Bagaimana bisa ia memaafkan laki-laki itu?

Sesekali Regina menoleh ke belakang, berharap ada taksi kosong lewat. Hampir saja ia putus asa, bahkan gagal menahan tangis kalau saja semesta tidak berpihak padanya malam ini. Secara kebetulan, sebuah taksi lewat dan mau berhenti. Ia segera menghempaskan tubuh lelahnya di jok penumpang sambil sesekali mengerjapkan mata. Bibirnya terlipat menahan gemuruh tangis yang siap meledak. 

Jangan nangis! Kamu bukan perempuan cengeng, Na! Ujar batinnya menyemangati diri.

***

Sementara itu, Leo memaki dirinya sendiri setelah dengan tega meninggalkan gadis itu malam-malam sendiri jalan kaki di underpass. Ia tidak lagi mempedulikan gemuruh di dada. Tangannya mencengkeram bulatan kemudi, dengan kesetanan, ia menerobos lampu merah untuk berputar balik. Kesalahan yang ia lakukan terhadap Regina kali ini fatal. Bagaimana bisa ia gelap mata sampai tanpa perasaan menurunkan gadis itu tak tahu tempat? Ia yakin gadis itu bukan lagi sebatas marah kepadanya. Saat ini, Leo bukan hanya berhutang penjelasan, namun juga resiko dibenci oleh gadis itu.

Laki-laki itu menajamkan penglihatannya begitu melewati underpass itu. Jalanan sangat sepi dan lengang, harapannya ia segera menemukan Regina. Lebih dari itu, gadis itu dalam keadaan baik. Ia melambatkan laju kendaraan demi menemukan Regina. Namun sayang, ketakutan yang semula hanya angan, kini menjadi nyata. Ia tidak menemukan Regina di sepanjang perjalanannya.

"Leo! Kali ini. Lo. Tolol. Asli!" Ia kembali memaki dirinya sendiri. Ketakutannya kian bertambah kala Regina mengabaikan panggilan teleponnya. Seharusnya ini menjadi kesempatan baginya memperbaiki hubungan dengan gadis itu. Nyatanya setiap kesempatan yang ada, dirinya malah menghancurkannya begitu saja bahkan sejak pertama kembali bertemu dengan gadis itu.

***
Tbc

22 Agustus 2024
Salam,
S. Andi

Has Been With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang