Bab 6

272 81 5
                                    

Jangan ditanya apakah semua baik-baik saja setelah malam itu? Tidak sebaik itu jujur saja. Meski sudah berbagai upaya sudah dilakukan untuk bisa melupakannya, Regina harus cukup puas diri dengan berpura-pura lupa. Ia bahkan sering sengaja menghindar dari laki-laki itu.

Ya, sejak malam itu, sepertinya takdir semakin sering membuatnya seperti harus berhubungan dengan laki-laki itu. Dan tepat dua bulan ini, Regina memblokir kontak komunikasi dengan laki-laki itu. Meski begitu, ia tidak bisa sepenuhnya lolos. Ia tahu benar. Mark adalah orang terakhir bagi Leo yang tidak bisa dihindari oleh gadis itu.

"Na, lagi di mana?" sapa Mark ketika sambungan telpon terhubung.

Gadis itu menghela napas. Ia tahu apa yang dimaksud kakak sepupunya itu. Keduanya sama-sama sedang berada di Jogjakarta dengan masing-masing tujuan. Bahkan tanpa janjian.

"Lagi di Beringharjo lihat batik. Sama Sam. Kenapa?" jawabnya lengkap tanpa perlu menunggu pertanyaan lain. Terdengar derai tawa ketika mendengar jawaban darinya.

"Maurie lagi di Malioboro mau ke sini. Nanti aku suruh dia jemput kamu, ya?"

Regina berdecak. Ia meletakkan rok batik dengan sedikit geram. "Ngapain?"

"Na, Maurie baik lho."

"Iya, tahu. Nggak kayak si mantan. Yang jadi pertanyaannya, aku ke sana ngapain?"

"Mas kamu lagi buka cabang, masa kamu nggak mau datang ucapin selamat?"

"Mas Mark,"

"Ditunggu, Na. Sebentar lagi Maurie sampe."

"Nggak enak aku ninggalin teman gitu aja…"

"Kamu keluar gih. Maurie udah di depan. Cepet ya, Na."

Gadis itu mengatupkan rahang. Biar bagaimanapun, nada bicara laki-laki di keluarganya nyaris tidak pernah tinggi termasuk Mark. Sampai-sampai para wanita di keluarganya tidak sampai hati untuk menolak.

"Sam, kayaknya hari ini aku perlu minta maaf deh nggak bisa sesuai planning."

Laki-laki yang diam-diam sejak tadi memperhatikan itu mendekat dengan sedikit menunduk. "Kenapa?"

Regina meringis tipis. Sejenak ia menahan napas. Mendadak ada muncul pertanyaan, mengapa harus Samudra yang menyentuh garis standar laki-laki idaman. Mengapa bukan dia? Namun kemudian gadis itu membuang napas dengan cepat. Bisa-bisanya ia membiarkan otaknya berkelana jauh.

"Sepupuku di Jogja, aku udah dijemput di depan. Dadakan banget," jawab Regina. Ia tidak tahu harus bagaimana menjelaskan karena rasa tidak enak hati kini sudah menekan hatinya.

"Iya, nggak apa-apa. Kalem aja. Kita masih punya banyak waktu kok. Kan, bisa komunikasi. Nanti aku kabarin semisal ada barang bagus. Sementara aku keliling sendiri aja dulu."

"Beneran nggak apa-apa?"

Laki-laki tersenyum meyakinkan. Regina mengangguk-angguk lalu menarik napas sebelum berpamitan. Ia bahkan mengantar Regina ke depan dengan sukarela.

Di depan sana, Maurie calon istri Mark sudah menunggu dengan beberapa orang yang merupakan tim vlog-nya. Calon istri Mark adalah seorang foodvlogger terkenal dengan banyak subscriber. Regina cukup dekat dengan cepat sejak keduanya dikenalkan.

"Kok nggak bilang kalau di Jogja?" protes gadis ayu itu sambil memeluk Regina.

"Kan, aku nggak tahu juga kalau Mbak Rie lagi di sini. Aku ada keperluan aja nyari batik." Usianya kurang lebih tiga tahun lebih muda dari Regina. Namun, karena silsilah keluarga yang akan menjadi bagian Maurie adalah kakak dari mendiang ibunya, membuat Regina harus memanggilnya Mbak.

Maurie menyenggol pinggang gadis itu dengan tatapan menggoda. "Ada perlu apa ada perlu?"

Regina memutar bola mata. Ia melirik ke gerbang Pasar Beringharjo. Laki-laki itu masih ada, menunggu kepergiannya. Kalau begini, mendadak ia teringat sang ayah yang begitu romantis terhadap mendiang ibunya. Namun, tepukan Maurie membuat gadis itu tersadar. Ia lantas melambaikan tangannya pada laki-laki itu sebelum melangkah pergi.

"Kalau aku lihat dia baik, Na," bisik Maurie sambil berjalan menuju ke parkiran mobil. 

"Baik, kok. Asli, baik banget. Tapi ingat, kita cuma sebatas rekan bisnis."

"Tapi aku sama Mas Mark dulu rekan bisnis lho."

"Itu kan Mbak Rie. Aku mah enggak," sahut Regina mengelak. Terus terang, di hatinya masih ada namanya. Entah butuh berapa lama lagi untuk benar-benar melepaskan. Sampai detik ini, tidak ada maaf ataupun penjelasan. Bahkan dengan konyol, setengah sadar Leo bertanya semua masih sama, kan? Jadi, bagaimana bisa dengan mudah melupakan?

Tidak membutuhkan waktu lama seperti di Jakarta untuk sampai di tujuan. Mobilitas Jogjakarta belum sepadat Jakarta. Begitu turun dari mobil, Regina disuguhi pemandangan persawahan dengan latar perbukitan. Di depan cafe yang ramai, Mark sudah berdiri menunggu. Laki-laki itu lantas berjalan mendekat.

"Na, di sini dulu, ya. Mas mau ada perlu sebentar sama Maurie," ucapnya tanpa basa-basi membuat Regina yang baru menjejakkan kaki di pinggiran Sleman terbengong. 

"Maksudnya gimana? Aku baru sampai lho, Mas."

"Sebentar aja. Nanti Mas balik kok. Nanti diantarin ke hotelnya, jangan khawatir. Kapan sih Mas nelantarin kamu?"

"Tapi…"

"Udah, naik aja. Ada Astri di atas."

Astri? Mau tidak mau, gadis itu melangkah masuk sendiri. Ia tahu asisten kakak sepupunya itu. Setidaknya ada rasa tenang dengan keberadaan Astri, ada orang yang dikenalnya di tempat asing ini.

Kakinya perlahan menaiki anak tangga. Sampai di lantai dua, ia menatap ke sekitar mencari sosok Astri. Akan tetapi, tatapannya berhenti pada satu sosok yang sedang menatapnya lekat-lekat. Regina tidak menemukan Astri di sana. Dan ia hanya bisa diam di tempat. Sialnya, laki-laki itu seolah mengunci tatapannya membuat Regina sedikit kesulitan untuk bernapas. Ditambah, debaran keras yang tiba-tiba tercipta.

Leo sendiri sama sekali tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya saat ini. Mark bilang Maurie datang dengan kakaknya. Kalau saja ia tidak bisa menahan diri, ia sudah mendorong gadis -yang setengah mati membuatnya frustrasi- ke dinding dan mengunci dengan tubuhnya. Sial rasanya. Rindu yang menggebu dan ego yang melarang bertarung di hatinya. Ditambah ada kemarahan yang seharusnya siap meledak karena dengan beraninya, gadis itu memblokir semua akses. Belakangan ia cukup berpuas diri mendengar kabar tentangnya dari Mark atau Mariska.

"Sorry, aku pikir ada Astri di sini," ucap Regina tercicit. Ia bersusah payah bersuara.

"Duduk aja, aku nggak nggigit," jawabnya singkat tanpa memutus tatapannya.

"Nggak usah, makasih."

"Duduk. Biar aku aja yang pergi."

Regina terdiam. Ia menundukkan kepalanya kala laki-laki itu bangun dari duduknya. Sesaat ia seperti kehilangan napas begitu Leo melewatinya. Ia tahu, kali ini adalah kesalahannya. Harusnya, jalan cerita tidak seperti ini kan? Barangkali, ini bagian dari rencana Tuhan lewat Mark agar keadaan yang buruk itu terselesaikan dengan baik. 

Dalam diam, gadis itu memejamkan mata, menggigit bibir dalamnya. Terpaan angin yang tercipta saat Leo melewatinya, membuat hatinya berdenyut nyeri. Lagi-lagi ego yang memenangkan. Gadis itu membuka mata dan menatap ke bawah. Terlihat laki-laki itu sebentar lagi berada di lantai bawah.

Leo!

Ah! Regina mengerang dalam hati. Ingin rasanya ia meneriakkan nama itu. Namun sayang sekali, lidahnya enggan untuk diajak kerja sama. Mungkin ini yang dinamakan kesempatan di depan mata bukan berarti itu milik kita.

***
Tbc
4 Sept 2024
Salam,
S. Andi

Has Been With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang