Bab 3

312 88 5
                                    

Pukul sebelas siang, Regina selesai meeting dengan penyuplai kerajinan kain Batik dari Pekalongan. Seharusnya memang tidak di akhir pekan. Namun, menyesuaikan waktu yang ada, akhirnya Gadis itu sepakat untuk bertemu dengan Samudra Zailani, ketua pengrajin Batik di akhir pekan. Pemuda tampan dengan kulit sawo matang, rekomendasi dari desainer Butiknya. Ia beberapa kali berkomunikasi via telepon sejak dua bulan yang lalu, namun baru kali ini mengobrol langsung membahas kerja sama.

"Regina, makasih, ya, udah mau meluangkan waktu. Akhir pekan lagi."

"Sama-sama, Sam. Mudah-mudahan kerja sama ini bisa langgeng, ya."

"Amin. Aku pamit dulu, ya."

"Oke, hati-hati di jalan. See you, Sam."

Begitu laki-laki itu sudah berlalu dengan mobilnya, Regina kembali masuk. Ia membereskan beberapa barang dan tak lupa laptop milik Leo. Niatnya, ia akan menjemput Ayana dulu, baru menemui laki-laki itu. 

Tidak membutuhkan waktu lama untuk menjemput gadis kecil usia enam tahun itu. Ayana sudah menunggu tidak lebih dari lima menit. Begitu melihat mobil putih Regina, gadis berambut lurus panjang itu segera menghampiri dengan senyum semringah.

"Kata Opa Windu, Tante Nana yang mau jemput. Tadi aku nelpon Opa, soalnya Om Mark nggak bisa jemput." Gadis itu dengan riang berceloteh duduk di samping Regina.

"Kamu nelepon Opa pagi-pagi, ya?" tanya Regina sambil melajukan mobilnya meninggalkan sanggar Tari Balet itu.

Ayana mengangguk, "Mama nelpon Tante Nana nggak diangkat. Makanya aku nelpon Opa aja."

"Tante masih tidur, Ay," ucap Regina beralasan. Lebih tepatnya ia enggan membuka ponselnya karena masih menyimpan kesal.

"Kamu mau makan siang, nggak? Tante mau beli makan siang buat temannya Om Mark. Tadi nitip Tante soalnya. Oh, ya, Tante lupa bilang. Kita mampir ke kantor Om Mark sebentar. Tante dititipin laptop. Nggak apa-apa, ya?"

"Nggak apa-apa, Tante. Aku bawa bekal makan siang. Tadi Mama bikinin aku roti sama susu."

"Oke. Tante mampir restoran dulu, ya." 

Pandangan Regina berkeliling di sepanjang perjalanan menuju ke Kasablanka sambil berpikir makanan apa yang akan dibeli. Sialnya, laki-laki itu tidak merespon pesan Regina. Gadis itu hanya bisa menahan napas, berusaha tidak meledak dengan sikap Leo yang semakin menyebalkan. Laki-laki itu bukan lagi Leo yang dikenalnya dulu. Jauh berbeda.

Sesaat Regina terdiam. Ia menepikan mobilnya di sebuah restoran nasi padang. Satu porsi nasi padang dengan ayam pop menjadi pilihannya. Kalaupun Leo tidak berkenan, ia masih bisa memakannya. Ia kemudian melanjutkan kembali perjalanannya.

Begitu sampai, ia langsung turun dengan barang titipan di tangannya. Dengan setelan blouse putih tanpa lengan dan rok batik asimetris, Regina menggandeng Ayana memasuki gedung kantor Up 'n Down. Riasan gadis itu masih on poin tanpa perlu dirapikan lagi. Keadaan kantor ini sangat sepi, hanya segelintir karyawan saja yang masuk. Ia diarahkan oleh seorang karyawan menuju ke ruang kerja Leo.

"Masuk." Sebuah suara menyambut ketika ia mengetuk pintu itu. 

Ia mendorong daun pintu, meminta Ayana untuk masuk terlebih dahulu. Kemudian ia menutup kembali dan membiarkan Ayana mengekori langkahnya dengan tangan mungil berpegangan pada roknya.

Dari tempat duduknya, Leo agak terkejut dengan kedatangan Regina. Ia terdiam dengan perasaan tak menentu ketika mendapati ada anak kecil di belakang Regina. Raut wajah itu bisa dibilang mirip. Laki-laki itu kembali menarik napas. Rasanya Mark tidak mungkin menyembunyikan hal-hal sepenting ini darinya.

"Laptop dari Mas Mark. Dan ini pesenan kamu," ucap Regina tanpa basa-basi.

"Makasih. Taruh di meja aja," jawab Leo terkesan jutek mampir di telinga gadis itu.

Gadis itu mencari meja yang dimaksud Leo. Ia lalu menuju ke sofa dan meletakkannya di sana tanpa menyahut atau menoleh lagi ke arah laki-laki berambut coklat gelap itu.

"Kirim rekening kamu, nanti aku transfer," ucapnya ketika Regina hendak membuka pintu untuk pulang.

"Oke," jawab gadis itu tak kalah singkat. Setelahnya tidak ada percakapan lagi. Apalagi soal minta maaf yang semalam. Gadis itu berjalan meninggalkan ruang kerja Leo dengan ubun-ubun seperti sedang mendidih.

***

Laki-laki itu terdiam menatap sebungkus nasi untuk makan siang yang dibawa Regina beberapa saat lalu. Sejenak ia menarik napas lalu merebahkan punggungnya pada sandaran sofa. Matanya terpejam rapat, namun pikirannya melayang jauh.

Entah bagaimana bisa, di benaknya kini muncul bayangan Regina sudah menikah dengan laki-laki lain dan anak yang bersamanya itu adalah buah hati mereka. Mendadak ia teringat semalam Regina bertelpon dengan seseorang bernama Sam. Apa mungkin dia orangnya? Kapan? Ia sudah kembali ke Indonesia sejak tujuh tahun lalu. Tapi ia tidak pernah mendengar kabar ini. Tidak mungkin Mark tidak bercerita. 

Leo mengusap wajahnya kasar. Rasanya ingin meledak saat itu juga. Tapi urung ketika mengingat, memangnya dia siapa bagi Regina?

Ia mengambil ponsel di meja dengan enggan saat terdengar dering panggilan masuk. Panjang umur, Mark menelponnya.

"Regina udah sampai, Bre?" tanya Mark tanpa basa-basi.

"Udah. Sama anak kecil," jawab Leo tanpa semangat.

"Oh. Sama Ayana, ya? Tadi kakak gue minta jemputin Ayana. Tapi nggak bisa. Kayaknya itu Ayana nelpon Opanya deh, makanya Regina yang jemput."

"Anaknya kakak lo?"

"Iya, siapa lagi," terdengar derai tawa dari Mark, "ya udah. Mau make sure  doang."

Huft! Leo kembali menghempaskan tubuhnya. Hanya saja kali ini disertai dengan perasaan lega. Gadis itu masih sendiri.

Laki-laki itu mengangkat tubuhnya, duduk dengan kedua siku bertumpu di lututnya. Tangannya lalu membuka bungkusan makan siangnya. Ia menatap sebungkus nasi padang dengan senyum samar di bibir. Gadis itu masih ingat apa makanan berat favoritnya. Tanpa perlu dia beritahu, gadis itu membawakan seporsi nasi padang dengan lauk ayam pop.

Tangannya yang hendak mengambil alat makan, urung dan berpindah ke ponselnya. Mendadak terbersit ingin mengirimi pesan pada gadis itu. Meskipun ia tahu, gadis itu tidak akan menggubris pesan darinya. Kesalahannya tidak terhitung lagi.

Gina, maaf untuk yang semalam.

Kirim atau tidak? Pikiran itu kembali terbelah. Dan ibu jarinya terdiam di udara, terasa berat hanya untuk menekan tombol kirim.

Leo kembali menghela napas berat. Baginya, hubungannya dengan gadis itu kini lebih parah dari kusutnya kabel di ibu kota. Dirinya tidak tahu bagaimana harus mengawalinya lagi. Sepertinya mustahil untuk kembali baik. Apalagi kalau sampai mengajak balikan. Terus terang, gadis itu masih bersemayam di hatinya sampai detik ini.

Kalau saja, dulu ia tidak main-main, memiliki sedikit saja keberanian, mungkin jalan cerita tidak akan serumit ini. Saat ini, selama tujuh tahun, ia harus puas hanya dengan mencari tahu kabarnya saja. Beruntung Mark tidak menaruh rasa curiga kepadanya. Tapi mau sampai kapan dirinya hanya cukup merasa puas tanpa memiliki? Sekuat apa hatinya menerima kabar jika sewaktu-waktu Regina menemukan seseorang yang tepat? Hatinya berdecih, menertawakan keadaannya saat ini.

***
Tbc

27 Agust
Salam,

S. Andi

Has Been With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang