"Gagal lagi? Itu usaha gue paling keras lho," ucap Mark sekembalinya mengantar Regina kembali ke hotel. Setelah meninggalkan Leo dan Regina, ia berharap ada hasil yang setidaknya cukup baik. Tanpa tahu ada cerita apa sebelumnya dan entah bagaimana awalnya, mendadak beberapa minggu belakangan ia menjadi ingin mengenalkan sahabat sekaligus partner bisnisnya dengan adik sepupunya. Terlebih menurutnya sejauh ini Leo ada ketertarikan dengan Regina dilihat dari seringnya Leo basa-basi menanyakan kabar Regina
"Sulit. Banget," ungkap Leo dengan raut wajah putus asa. Laki-laki itu menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. Cafe miliknya malam ini menyisakan segelintir karyawan yang sedang beres-beres setelah sepuluh menit lalu tutup pengunjung.
"Sabar. Menghadapi wanita butuh banyak kesabaran."
Laki-laki itu terdiam. Sementara Mark tertawa kecil sambil menggulung lengan kemeja.
"Kayaknya emang nggak bakalan bisa."
"Apa yang bikin lo seyakin itu nggak bisa?"
Terdengar helaan napas berat dari laki-laki yang selama ini tidak pernah serius jika berhubungan dengan wanita. Wanitanya serius, dianya lari menjaga jarak. Bahkan kadang menghilang. Beberapa kali orangtua menjodohkannya, tapi selalu gagal. Leo nyaris tidak pernah menemui wanita-wanita itu. Meski dekat, bukan berarti Mark tahu semua urusan asmara laki-laki itu.
"Ya… pokoknya sulit. Susah jelasinnya."
"Dia bukan tipe lo?"
Ia menggelengkan kepala. "Gue bukan tipe dia. Gue nggak kayak lo, Bre. Yang bisa meratukan wanita."
"Pelan-pelan pasti bisa."
"Nggak. Kalau ini udah pasti nggak bisa. Udah tertutup, Bre."
Mark mengerutkan dahi. Ia mencium ada hal lain yang membuat laki-laki itu dengan yakin berkata tidak.
"Masalahnya apa sih, Bre. Sampai lo seyakin itu bilang nggak. Tahu darimana kalau Nana nggak bakalan nerima lo?"
"Gue ada salah sama dia." Akhirnya Leo menjawab dengan jujur. Sudah pasti Mark terkejut. Kesalahan apa yang membuat Regina tidak mau mengenal Leo lebih dalam.
"Ngapain? Lo ngapain adik gue?"
Leo meraih jaket yang tergeletak di lengan sofa untuk menutupi wajahnya. Melihat Leo yang sedikit enggan untuk menjawab, sepertinya masalah itu bukan hal sepele. Akan tetapi rasanya mustahil untuk perihal perbuatan macam-macam.
"Tapi lo nggak yang macem-macem sama dia kan?"
"Dih!" Seketika Leo menyingkap jaket dari wajahnya lalu terbangun duduk, "enggaklah. Sinting kali gue ngapa-ngapain orang yang gue sayang."
"Oh? sayang?!" Ia baru mendekatkan Leo dan Regina dalam beberapa bulan ini. Surprisingly, bagaimana bisa Leo sayang secepat itu.
"Gue ceritain sekarang lah biar nggak ada pertanyaan lagi. Sebelumnya sorry kalau nanti ada yang bikin kesel atau gimana. Bre, dulu kita pernah dekat."
"Dekat? Jadian?" tanya Mark. Leo menganggukkan kepala. "Kok gue nggak tahu. Kapan?"
"Dulu namanya bocah kecil. Dia takut diledekin sama lo. Jadi ceritanya diam-diam. Emang at the end, gue yang salah ninggalin dia buat kuliah tanpa kabar sama sekali. Gue banyak hutang maaf sama dia. Harusnya banyak kesempatan buat bilang maaf. Tapi, gue nggak abis pikir. Emosi gue nggak stabil kalo di depan dia. Jadinya ya gitu dia makin ilfil sama gue."
"Tapi sampai sekarang lo masih ada rasa? Jujur, gue agak speechless. Nggak nyangka aja. Pantas aja dari dulu lo rajin banget nanyain dia. Gue kira lo yang cuma sebatas flirt aja."
"Kalaupun ada, idaman dia bukan yang kayak gue kan?"
"Misal nih, kita bicara misal dulu ya? Misalnya dia juga masih ada rasa, lo mau gimana?"
"Mustahil, Bre. Ibaratnya kayak menggapai bintang," lenguh Leo sambil beranjak meninggalkan Mark dengan langkah lunglai.
Sementara itu, dalam diam Mark menahan senyum. Baginya ini konyol. Mereka dengan sangat pandai menyembunyikan ini bertahun-tahun. Bagaimana bisa keduanya berpura-pura tidak ada apa-apa di hadapannya. Ah, tapi memang dirinya yang agak kurang peka. Harusnya ia menaruh curiga saat Leo atau Regina mencuri-curi kabar masing-masing lewat dirinya. Dan itu sering mereka lakukan. Hanya saja selama ini Mark menganggap itu hal biasa.
***
"Emang sesulit itu maafin dia?"
Pertanyaan itu membuat Regina memejamkan mata. Napasnya tertahan beberapa detik. Sepulang dari Cafe Up 'n Down, Regina lantas menelepon Mariska. Kali ini ia merasa tidak cukup sanggup menahan sendirian. Baginya, menghadapi Leo yang hanya beberapa detik saja sudah sangat menguras emosi.
"Terus terang iya. Lo bayangin aja, dia punya waktu tujuh tahun tapi dia nggak melakukan apa-apa. Sesulit apa pas pulang ketemu gue terus say sorry. Itu sederhana, Ris. Tapi nggak ada sampai detik ini."
"Coba deh lo duduk berdua dengan kepala dingin."
"Kayaknya nggak bisa deh." Regina mengusap wajahnya. Ia bersandar di bingkai jendela kamarnya yang tak terhadang gorden. Terlihat di luar sana indahnya suasana kota Jogja malam hari.
"Kan belum dicoba masa udah bilang nggak bisa."
"Nggak tahu. Kayaknya emang better aku sama dia putus komunikasi. Masing-masing aja. Menurut lo gimana?"
"Na, dari kapan gue bilang lo kapan mau move on? Alhasil sekarang apa? Move on enggak, balikan juga enggak. Mau move on juga berat kan?"
"Nggak tahu. Gue pusing."
"Istirahat aja dulu. Kapan balik ke Jakarta?"
"Kemungkinan agak lama. Sekalian mau liburan. Mungkin nanti pas nikahannya Mas Mark."
Sejak awal menginjakkan kaki di Jogja, Regina memang sudah memiliki banyak rencana perjalanan baik untuk bisnis maupun liburan. Untuk bisnis, ia menyiapkan waktu selama lima hari bersama Samudra yang memang lebih tahu soal kualitas Batik. Ia juga mengajak beberapa karyawannya dalam perjalanan bisnis ini. Rencananya ia akan mengangkat Batik baru langsung dari pengrajin lokal. Baru kemudian ia sendiri menikmati liburan beberapa hari sebelum kembali ke Jakarta. Sayang, di hari kedua, rencananya berantakan. Meskipun demikian, jauh di lubuk hati, Regina tidak pernah bisa benar-benar menyalahkan Leo.
Ia menarik napas panjang lalu menuju ke tempat tidur setelah sambungan telepon itu berakhir tepat di jam satu dini hari. Ia baru akan meletakkan ponselnya ketika nada pesan masuk berbunyi.
Na, kamu di hotel mana?
Gadis itu mendadak diam. Debaran keras di dada kembali ia rasakan lagi begitu melihat nama pengirim pesan itu. Benar apa yang dibilang Mariska. Sekarang untuk move on tidak semudah itu. Seperti pohon, namanya sudah mengakar di hati. Jika sudah menyangkut nama Leo, selalu saja mendadak otaknya buntu. Apa memang semua belum berubah?
Rasanya malam ini menjadi begitu hening, hampa. Regina hanya menatap luruh pesan itu sambil beringsut menaiki tempat tidurnya. Sebuah pertanyaan kembali menggelitik hatinya, mau sampai kapan?
Kali ini bukan Leo saja yang berhutang maaf. Regina pun demikian. Kalau diingat kembali, ia sudah cukup tega meninggalkan Leo malam itu tanpa siapapun dalam kondisi sedang demam hanya karena sebuah pertanyaan, semua helum berubah kan?
Kalau diingat-ingat lagi, selama ini laki-laki itu tidak menyerah mengiriminya pesan. Leo tahu ia sedang dimana dan sama siapa tanpa perlu bertanya langsung padanya. Laki-laki itu masih memperhatikan dari jauh. Hanya saja, semua itu bukan yang Regina ingini. Satu-satunya hal yang diharapkan sejak Leo datang kembali adalah kata maaf langsung dari mulutnya. Sayang, sudah tujuh tahun berlalu, sekian ribu hari dan sekian juta kesempatan, tidak satupun dimanfaatkan laki-laki itu cuma untuk bilang maaf.
***
Tbc
Sabtu 7 SeptSalam,
S. Andi
KAMU SEDANG MEMBACA
Has Been With You
RomanceHas Been With You Blurb Dibuat jatuh cinta lagi sama Mantan? Dari sekian banyak kesempatan, kenapa perjalanan selalu mempertemukan Regina dengan mantan rahasianya? Niat melupakan ada. Usaha bahkan sudah. Tapi takdir bicara lain. Apa iya harus rela...