Bab 8

219 68 6
                                    

Harusnya jika memang tidak mau peduli dan tidak mau lagi berurusan dengan Leo, yang pertama harus dilakukan oleh Regina adalah mengabaikan seluruh pesan atau panggilan dari laki-laki itu. Lalu, mengabaikan semua kabar yang mampir tentang Leonadra Wiyoto. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semuanya berjalan dengan semestinya.

Terkadang, ia masih suka cari tahu media sosialnya. Kadang Mariska datang dengan sekelumit berita atau Mark yang terang-terangan memberitahu dirinya. Belum lagi, ia sendiri yang tidak bisa menolak kedatangan laki-laki itu. Tak jarang hatinya menyumpahi dirinya sendiri, munafik!

"Apa?" ujarnya ketus tanpa sapa atau bahkan senyum ketika membukakan pintu kamar hotelnya. Matanya menatap enggan laki-laki dengan penampilan acak-acakan yang berdiri lelah di hadapannya. Regina tahu persis kalau Leo belum berganti pakaian. Mungkin saja ia datang langsung dari Up 'n Down. Tapi untuk apa sampai selarut itu di sana.

"Kita perlu bicara," ucapnya singkat lalu menerobos masuk.

"Nggak ada. Tapi kalaupun ada, itu nggak sekarang. Udah malam, aku mau istirahat."

Laki-laki itu mendengkus. "Gina!"

Regina mengembuskan napas. Ia memilih menghindari tatapan laki-laki itu lalu menutup kamar hotel. Baginya saat ini, apa yang perlu dibicarakan kalau ujung-ujung pasti akan ribut. 

"Kamu belum jawab pertanyaanku. Dan kamu menghindar," ucapnya dengan tatapan menuntut.

Nah, kan? Gadis itu memilih menutup mulutnya. Ia lalu duduk di sebuah sofa tunggal. Ia membiarkan tatapan Leo membuntutinya. Yang jelas ia bisa menangkap adanya kekesalan yang memuncak dan berujung frustasi. Suasana mendadak hening namun hanya sebentar. Suara pesan masuk di ponsel Regina menyita perhatian.

Tangan Regina terulur ke meja lampu tidur mengambil ponsel tanpa beranjak dari duduknya. Sederet pesan membuat bibir tanpa lipstiknya terangkat sedikit.

Na, udah tidur kah? Cuma mau ingetin, jangan lupa besok bangun pagi. Kita sarapan di luar.

Belum sempat ia menjawab, sebuah tangan mengambil ponselnya tanpa permisi. Ia melihat bagaimana tangan itu menggenggam ponselnya hingga sedikit menampakkan urat-urat tangannya

"Samudra. Sebaik apa dia?" 

Asli. Itu pertanyaan konyol. Leo bahkan merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Bagaimana bisa Regina akan luluh kalau ia memberikan pertanyaan bodoh semacam ini. Sayang, sampai saat ini belum ada penghapus ucapan. Dalam hati saat ini, ia sudah pasrah kalau-kalau Regina benar-benar membencinya. Seharusnya pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, sebaik apa dia sampai Regina harus menerimanya kembali?

"Emang penting buat kamu? Kalaupun itu penting, tolong ingat, kita nggak ada urusan apa-apa," sahut Regina sinis. Kali ini ia merasa terprovokasi oleh pertanyaan laki-laki itu.

"Ada. Ada banget. Antara kita nggak pernah ada kata putus."

"Buat aku semua udah berakhir. Kalau buat kamu belum, oke. Leo, ayo, kita putus aja." Dengan lantang, Regina mengatakan itu. Biar saja debaran keras memenuhi rongga dadanya. Dan rasa sesak bercokol di hatinya. Ia hanya ingin melanjutkan hidup. Mungkin ini saatnya melepaskan kisah masa lalu yang belum selesai. Harapannya, di kemudian hari ia dan Leo bisa menemukan bahagianya masing-masing.

Tanpa menunggu jawaban Leo, gadis itu beranjak dari duduknya menuju ke pintu. Ia ingin membukakan pintu dan meminta Leo untuk segera meninggalkan kamar itu. Akan tetapi yang terjadi, tangan itu menarik lengan Regina hingga limbung dan jatuh di dekapannya. Sejenak, gadis itu merasa kosong dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Apalagi dekapan laki-laki itu sangat erat.

"Kita balikan, Na. Ayo, kita balikan!"

"Nggak! Even in your dream!" tolak Regina dengan tegas sambil memberontak, berusaha lepas dari dekapan itu. Namun sekali lagi, usahanya sia-sia. Laki-laki itu malah membenamkan wajahnya di rambut Regina yang sudah dua hari tidak dicatok.

"Leo!"

"Apapun itu, please. Kita balikan, Na. Kita sama-sama masih peduli. Sama-sama masih ada rasa. Sama-sama…"

"Nggak. Kita bukan waktunya lagi untuk bersama-sama. Leo, kamu bisa kok sama yang lain. Maybe nanti kamu bisa lebih bahagia. Jadi, ayo, sekarang jalan masing-masing aja. Clear, kan?"

"Nggak bisa, Na. Kenapa harus sama yang lain kalau…"

"Karena udah berapa banyak waktu yang hilang? Kamu melewatkannya bertahun-tahun," potong Regina dengan gelegak emosi yang berusaha ditahan.

Laki-laki itu terdiam. Pelukannya tidak lagi memiliki daya. Regina bisa memberi jarak pada laki-laki yang kini tertunduk lunglai. Gadis itu lalu menarik napas panjang. Ia memberanikan diri menatap Leo. Bibirnya bergetar saat berbicara.

"Makanya tadi aku bilang kalaupun ada yang perlu dibicarakan, itu nggak sekarang. Terus apa jadinya? Kamu sadar nggak? Kita cuma saling menyakiti."

"Na, aku harus gimana?"

Gadis itu mengerjapkan mata. Jujur, pertanyaan itu mencubit kecil hatinya. Ia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Akan tetapi, kalau tidak diakhiri dengan resmi saat ini, mau sampai kapan ia dihantui perasaan masih sayang?

"Lupain aja. Toh juga selama ini kamu baik-baik aja. Bertahun-tahun tanpa aku kamu malah sukses, kan? Nggak ada yang perlu dikhawatirin. Kita cuma perlu menjalani aja."

"Maaf. Aku minta maaf untuk bertahun-tahun yang hilang."

Kata maaf yang baru saja terucap membuat Regina memejamkan mata. Harusnya ini menyentuh sampai ke dasar hati. Harusnya lagi laki-laki itu mengatakannya tepat saat pertama kalinya bertemu kembali. Bukan setelah lewat bertahun-tahun. 

"Kalau aku bilang terlambat, kamu sakit hati nggak?" tanya Regina serak. Ia tahu, bukan hal mudah untuk urusan maaf dan memaafkan. 

Laki-laki itu terdiam cukup lama. Lidahnya terasa kelu. Kali ini, ucapan Regina sepertinya sudah memukul kesadarannya.

"Nggak apa-apa. Tapi, Na…" Ia mencoba menatap gadis ayu itu, "Kamu benar. Kamu berhak bahagia. Maaf, aku terlalu egois."

"Kita…"

Leo memotong kalimat Regina dengan gelengan kepala, "Aku pulang, Na. Maaf untuk semua hal yang nyakitin kamu."

Laki-laki itu lalu bergegas meninggalkan kamar hotel gadis itu. Dalam diam, Regina menatap punggung lebar itu dengan hati mencelus. Ini adalah kebohongan paling parah yang dilakukan untuk dirinya sendiri. Bahunya kini bergetar. Sebuah nama yang selama ini bersemayam di hatinya seolah-olah perlahan menghilang seiring dengan langkah kaki laki-laki itu menjauh.

Sebuah pertanyaan kini muncul dari hatinya, yakin masih bisa bahagia?

Untuk saat ini, gadis itu hanya bisa membiarkan dirinya melebur dalam tangis. Ia baru saja benar-benar kehilangan seseorang. Beberapa saat ia menghentikan tangis. Ia berdiam diri sebelum kemudian mengambil jaket dan kunci mobil rentalnya. Ia sedikit berlari meninggalkan kamar untuk mengejar laki-laki itu.

Yang ia lakukan hanya membuntuti mobil laki-laki itu dari jarak tidak terlalu dekat demi memastikan Leo baik-baik saja pulang ke hotelnya. Sekali lagi, ia kembali mengabaikan hatinya hanya demi melihat laki-laki itu tidak bermasalah.

***
Tbc
15 Sept 2024

Salam,
S. Andi

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Has Been With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang