Bab 2

353 88 3
                                    

Gadis itu menggeliat dalam balutan selimut. Rasa lelah semalam membuatnya enggan untuk bangun. Ia juga sengaja membiarkan ponselnya habis daya. Setelah mengabaikan panggilan telepon dari Leo, ia menenggelamkan ponselnya di dasar tas. Ia sama sekali tidak berminat membongkar tasnya seperti yang biasa dilakukan ketika sampai di rumah.

Ia terdiam sejenak lalu mengusap wajahnya sebelum memaksakan diri untuk bangun. Regina baru ingat kalau hari ini tidak bisa sesantai biasanya. Setelah tiga tahun hidup sebagai gadis kantoran, ayahnya memaksa dirinya untuk resign demi membantu sang ayah mengelola butik batik mendiang ibunya. Kira-kira sudah empat tahun ini, Regina berkecimpung di Usaha Kecil Mandiri sebagai manajer umum dari empat butik yang dimilikinya.

"Sarapan udah siap, Na." Terdengar suara sang ayah membangunkannya di depan pintu tepat lima belas menit kemudian, setelah Regina selesai berganti pakaian.

Gadis itu menghela napas singkat. Coba saja ada laki-laki yang semanis ayahnya. Meskipun dulu pernah mengorbankan waktu untuk keluarga demi berbisnis mencari nafkah, kini di usia pensiun, ayahnya menebus hal yang dulu pernah terlewatkan. Pantas rasanya mendiang ibunya cinta mati. Ayahnya pun sampai detik ini tidak berminat untuk menikah lagi.

Ya, sayangnya laki-laki yang diimpikan belum pernah ada yang menjadi nyata. Apalagi Leo. Leo? Seketika gadis itu berdecih. Ia bergidik lalu bergegas keluar kamar menuju ke ruang makan. Ada sang ayah dengan celemek motif kotak-kotak warna biru sedang duduk menunggu dirinya. Di meja sudah terhidang nasi goreng ala Winduaji Salim. Sederhana tapi istimewa bagi Regina.

"Belum rapi, Na?" tanya sang ayah ketika mendapati Regina masih polosan tanpa sedikit riasan seperti biasanya.

"Nana agak kesiangan. Semalam pulangnya agak lama," jawab gadis itu berterus-terang.

"Lho, Mas Mark lama datangnya?"

Regina menggelengkan kepala. Ia mulai menyuap nasi goreng tanpa kecap itu. Agak asin sedikit. Mungkin Windu sedikit kebanyakan memberikan garam. Ia memaklumi itu. Ia sendiri belum tentu bisa memasak seenak ayahnya.

"Nasi goreng Ayah selalu lezat," puji Regina, berbuah senyum di wajah tua Windu, "Mas Mark datang jam sembilanan. Tapi aku ada urusan sebentar. Aku pikir sebentar, eh ternyata jadi lama."

"Oh, Ayah pikir ada apa. Besok-besok, kalau sekiranya lama, jangan dipaksain malam itu juga. Oh, ya, Tante Hera gimana, udah mendingan?"

"Udah, besok kayaknya udah boleh pulang. Hari ini ayah ada acara?" tanya Regina. Semenjak kepergian Mamanya, Regina berusaha untuk lebih banyak memberikan perhatian kepada ayahnya. Kehilangan mengubah banyak hal termasuk rasa peduli dan kasih sayang. Ia meleburkan semua kekesalan dan jarak yang tercipta antara ayah dan anak sebab kesibukan ayahnya dulu.

"Ada. Ketemu Om Haris. Oh ya, Mbak Meta tadi telepon katanya nanti siang tolong jemput Ayana di tempat les baletnya Soalnya Mbak Meta giliran nungguin Tante Hera," ujar Windu. Meta adalah anak pertama dari Tante Hera.

"Oke. Aku ada meeting nggak lama. Ayah nanti minta Pak Darno anterin, ya? Jangan bawa mobil sendiri. Hari ini biar aku yang nyetir mobil sendiri aja," ujarnya sambil cepat-cepat menyelesaikan sarapannya saat melihat jam sudah hampir pukul tujuh. "Yah, Nana berangkat dulu."

"Lho, kamu belum rapi, lho," ujar sang ayah mengingatkan pada wajahnya yang masih polos.

"Nggak apa-apa. Nanti di Butik aja. Aku ada ketemu orang jam delapan, Yah."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan."

Regina mengangguk lalu beranjak dari duduknya. Ia berniat mengangkat piring kotornya, namun dengan cepat ayahnya mengambil alih. Sejenak gadis itu terdiam menatap ayahnya sendu. Lalu perlahan bibirnya tersenyum kemudian menggelengkan kepala. Andai saja ada laki-laki yang semanis itu, mungkin ia akan bilang iya tanpa pikir panjang lagi. Sayangnya, meski sudah di usia kepala tiga, ia belum menemukan idamannya. Lebih sayangnya lagi, ia masih dibayangi oleh kisah masa lalunya.

Ah! Kenapa harus ingat Leo lagi sih? Masih pagi juga! Rutuknya dalam hati ketika pikirannya kembali dipenuhi oleh laki-laki yang kurang asem itu.

Ia baru akan membuka pintu mobilnya ketika ponselnya berdering nada panggilan masuk. Tangannya segera merogoh dasar tas. Ia mendapati nama Mark sebagai kontak pemanggil.

"Iya, Mas?" jawabnya sambil membuka pintu mobil. Ia duduk lalu meletakkan tasnya di jok penumpang depan.

"Udah jalan, Na? Kalau belum, Mas mau minta tolong."

"Belum, sih. Lagi mau jalan. Minta tolong apa?"

"Tadi malam, laptopnya Leo Mas pakai. Kamu bisa anterin nggak nanti siang? Atau biar Leo ambil di Butik kamu deh. Bisa nggak?"

Regina menghela napas. Dunia rasanya mendadak kehilangan oksigen. Masih pagi tapi rasanya sudah lelah. Mendengar nama Leo, rasa gondoknya kembali muncul.

"Na?"

"Hm. Bisa, jam berapa? Kebetulan, aku siang mau jemput Ayana. Mungkin sekalian keluar aja."

"Oke, deh. Makasih, ya, Na. Kalau gitu, aku ke rumah sekarang."

"Nggak usah. Aku aja yang ke sana..."

"Nggak usah, Na. Aku udah mau nyampe."

Kening Regina mengkerut. Tidak lama ia mendengar bunyi klakson. Matanya lalu mengintip dari kaca tengah. Di belakang sana, ada mobil keluaran Korea berhenti di depan gerbang rumahnya. Gadis itu menghela napas sambil keluar dari mobil lalu menghampiri mobil putih itu.

"Kenapa nggak diantar sendiri aja?" decak Regina sambil menerima tas berisi laptop itu.

"Tadinya sih. Tapi setelah dipikir-pikir, better aku minta tolong kamu. Lagi ada janji soalnya mau ke Duren Sawit."

"Ketemu client?"

"Teman lama. Nggak enak udah lama nggak ketemu. Dia udah di tempat soalnya. Oke, ya? Makasih, Nana."

Teman lama yang mana? Ia baru akan bertanya lebih detail namun urung sebab, laki-laki itu sudah terburu mendapat panggilan telepon.

"Bre, laptop gue titip ke Regina. Nanti lo tunggu di kantor. Agak siang mungkin."

Selebihnya, Regina hanya bisa memandangi mobil itu menjauh dari depan rumahnya. Ia lalu masuk mobil dengan bahu merosot. Tangannya meletakkan laptop itu di jok belakang. Hari ini, bukan akhir pekan yang baik menurutnya. Sudahlah harus ketemu orang di akhir pekan, ia harus menjemput Ayana. Sebenarnya itu bukan sebuah masalah besar. Yang menjadi dasar kekesalannya hanya seorang laki-laki yang menurunkannya tanpa segan, tengah malam di underpass. Ditambah, hari ini ia harus bertemu lagi dengannya.

Tidak ada yang salah dengan istilah people come and go. Ya, tetapi kenapa harus kembali datang? Gadis itu membuang napas kasar sambil masuk ke mobil. Tidak berapa lama, mobil itu sudah meninggalkan kompleks perumahan elit jaman 90an. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di Jalan Panglima Polim, tempat salah satu Butik Batiknya berdiri.

Sebelum keluar dari mobil, ia menyempatkan diri memeriksa ponselnya. Sejenak ia tertegun dengan banyaknya pesan maaf dari Leo. Ia hampir saja luluh sampai kemudian sebuah pesan baru muncul yang membuat rahangnya mengatup, bibirnya terlipat lurus.

Gina, nitip makan siang sekalian.

***

Tbc
Tolong jangan benci Leo ya?😂😂😂 temannya Mark (If You Don't Mind) ini emang agak lain.

23 Agustus 2024
Salam,
S. Andi

Has Been With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang