Bab 5. Kerapuhan Arumi

18 0 0
                                    

Usapan lembut di kepalanya membuat Sekar terbangun dari tidurnya, segaris senyum terbit di bibirnya saat melihat wajah sang ibu yang sedang tersenyum hangat ketika pertama kali dirinya membuka mata. Inilah hal yang selalu Sekar inginkan hingga seterusnya. Ibunya, terus berada di sampingnya dan menemaninya.

"Selamat pagi Ibu sayang," sapa Sekar pada ibunya dan mencium lembut kening pahlawannya.

"Selamat pagi Putri ibu yang kuat..." Sekar terkekeh, Ibunya memang selalu seperti itu karena menurut sang ibu, dia adalah gadis yang kuat karena mampu melewati segala derita dalam kerapuhan.

"Bagaimana keadaan Ibu hari ini?"

"Ibu sudah jauh lebih baik, terimakasih Sekar sudah jagain Ibu. Ibu sayang sekali sama Sekar."

Sekar meraih jemari ibunya dan menggenggamnya lembut, matanya berkaca-kaca menatap sang ibu. Namun senyumnya merekah indah di wajahnya, "Sekar juga sayaaaang sekali sama Ibu, jadi Ibu harus sehat terus yah," ucap Sekar.

"Selamat pagi..." Sekar menolehkan kepalanya kearah pintu di mana dokter dan suster baru saja masuk.

"Selamat pagi Dok, silakan." Sekar membalas sapaan dokter dengan ramah dan sedikit menyingkir, membiarkan dokter dengan leluasa memeriksa ibunya.

"Keadaannya sudah lebih baik yah, besok sudah bisa pulang." Sekar dan ibunya saling tatap dengan senyuman yang mengembang di wajah keduanya.

"Terimakasih, Dok."

***

Sekar keluar dari ruangan ibunya dan terkejut mendapati Arumi berdiri di depan pintu ruangan sang ibu dengan senyum mengembang.

"Arumi..." Sekar menggumam pelan. Keberadaan Arumi di depan ruangan ibunya benar-benar mengejutkannya.

"Selamat pagi Sekar, Aku ke sini mau jengukin Ibu. Keadaan Ibu gimana?" Sekar tersenyum canggung pada Arumi, dia masih merasa canggung untuk kembali bersikap seperti dulu pada Arumi.

Arumi dan Sekar duduk berdampingan di kursi taman, setelah menjenguk ibunya Sekar, Arumi mengajak Sekar untuk ke taman. Dia masih sangat merindukan sahabatnya dan ingin menceritakan banyak hal pada sahabatnya termasuk tentang... Rumah tangganya.

"Aku kangen banget kebersamaan kita yang dulu, di mana kita bisa tertawa dan menangis bersama tanpa ragu apalagi malu. Sekar, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan sama kamu, tentangku, tentang hidupku dan juga... Rumah tanggaku." Arumi memulai obrolan setelah keduanya sama-sama diam dalam waktu yang cukup lama hingga membuat suasana terasa canggung.

"Aku bahagia menikah dengan Regan, sangat bahagia. Dia membuat aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia ini. Dia memperlakukan aku seolah aku adalah princess. Dia melakukan banyak hal untuk membuat aku bahagia." Arumi tersenyum menceritakan tentang bagaimana Regan begitu mencintai dan memujanya tanpa menyadari perubahan raut wajah Sekar.

"Tapi... Di tengah kebahagiaan rumah tangga aku sama Regan, aku sedih Sekar. Aku sedih karena aku tidak bisa menjadi istri yang sempurna untuk Regan, aku tidak bisa memberikan apa yang selama ini diimpikan seorang suami, termasuk Regan." Sekar menolehkan wajahnya menatap Arumi.

Tenggorokan Sekar terasa tercekat melihat pancaran sendu di mata Arumi, terlebih bulir-bulir air mata sudah menetes membasahi pipi tirus sahabatnya. Selama mengenal Arumi, Sekar tak pernah melihat sahabatnya sesedih itu. Arumi adalah sosok yang ceria. Kalaupun menangis, itu hanya karena nonton drama Korea atau melihat Sekar menangis. Yah, Arumi memang selalu menangis bila melihat Sekar menangis.

"Sebagai seorang wanita terlebih sebagai seorang istri, aku ingin sekali merasakan menjadi seorang ibu. Membuat suamiku bahagia dengan hadirnya buah hati, namun aku tidak bisa memberikannya Sekar, aku merasa gagal." Sekar menatap Arumi bingung, tangannya mengelus lembut punggung sahabatnya yang bergetar karena tangis yang semakin pecah.

Lama mereka terdiam, Arumi dengan kesedihannya dan Sekar dengan kebingungannya. Ada banyak sekali tanya dalam benak Sekar, tapi dia ragu untuk mengatakannya.

"Rum, anak itu adalah hak prerogatif Allah, sebagai manusia kita tidak bisa memaksakannya. Yang bisa kita lakukan hanya berdoa dan berusaha. Aku yakin kok, suatu saat nanti kamu pasti akan hamil." Sekar mencoba menenangkan Arumi. Memberikan semangat kepada sahabatnya.

Arumi menggelengkan kepalanya lalu menghapus air matanya, wajahnya yang semula menunduk kini mendongak, menatap lekat pada Sekar, "Yah, dulu aku juga berpikir seperti itu. Mungkin memang belum waktunya aku memiliki anak. Aku terus berpikir positif kalau suatu hari nanti aku akan punya anak, tapi itu dulu-sebelum dokter mendiagnosa aku terdeteksi PCOS (Polycystic Ovary Syndrome)."

Sekar terdiam mendengar perkataan Arumi, dia tidak menyangka sahabatnya akan mengalami hal seperti itu. Meski bukan seorang dokter, Sekar cukup tahu apa itu PCOS (Polycystic Ovary Syndrome), yaitu kondisi di mana keseimbangan hormon menyebabkan sel telur sulit membesar dan berkumpul di ovarium. Hal itu membuat sel telur sulit dibuahi.

"Sekar, kamu tahu bagaimana perasaanku saat menerima vonis itu?" Sekar terdiam mendengar pertanyaan Arumi. Sekar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Arumi. Sebagai sesama wanita, Sekar memahami hal itu menjadi sesuatu yang sangat mengerikan bagi seorang perempuan.

"Hancur Sekar, rasanya seperti aku kehilangan harapan hidupku. dan yang lebih membuat ku hancur adalah... Aku sudah menghancurkan mimpi Regan. Aku tidak bisa memberikan apa yang diinginkan Regan. Walaupun Regan berkata tidak masalah tapi aku tahu dalam hati kecilnya dia sangat mengharapkan. Aku istri yang tidak berguna Sekar," Lanjut Arumi. Tangisnya kembali pecah saat teringat mimpi suaminya yang dulu selalu mengatakan ingin punya banyak anak.

Sekar menarik tubuh Arumi, membawanya ke dalam pelukannya. Air matanya menetes, dia ikut menangis melihat Arumi yang tergugu dalam tangisnya. Hati Sekar sesak melihat kerapuhan sahabatnya.

"Kamu tidak gagal, Rum. Semua sudah menjadi qadarullah, kita sebagai manusia tidak bisa menolaknya. Ikhlas, Rum. Aku yakin hatimu akan lebih tenang kalau kamu mengikhlaskan segala takdir yang Tuhan gariskan buat kamu. Jangan terus bergelut dengan kesedihan. Lagipula, aku yakin Regan pasti juga ikut sedih kalau melihat kamu seperti ini. Yang kamu harus ingat, ada Allah dan Regan yang akan selalu bersama kamu, menemani kamu melewati beratnya kehidupan di dunia. Jangan berkecil hati, masih banyak jalan untuk kamu memiliki anak. Kalian bisa mencoba bayi tabung, atau kalau tidak bisa kalian bisa mengangkat anak yatim, menjadikannya anak kalian. Bukankah itu pahalanya besar? selain kalian punya anak, kalian juga mendapatkan pahala," lirih Sekar di telinga Arumi.

Setelah dirasanya Arumi sudah lebih tenang, Sekar melepaskan pelukannya pada Arumi dan menghapus air mata yang membasahi pipi sahabatnya. Sekar menatap Arumi dengan senyuman tulusnya, "Jangan sedih lagi yah, selalu yakin kalau Allah ada bersama kamu."

Arumi menganggukkan kepalanya dan membalas senyuman Sekar dengan sama tulusnya, dia bersyukur memiliki sahabat seperti Sekar. Sejak dulu, Sekar selalu memberikan nasihat-nasihat yang baik untuk dirinya. Sahabat rasa saudara, begitulah dia dan Sekar.

"Terimakasih yah sahabatku," ucap Arumi. Mereka saling menatap dalam senyum dalam waktu yang cukup lama hingga sebuah ide konyol terlintas dipikiran Arumi.

Arumi menggigit bibir bawahnya, matanya semakin lekat menatap netra cokelat milik Sekar, ada sesuatu yang ingin dia katakan pada sahabatnya, tapi dia ragu. Dia takut Sekar akan membencinya.

"Sekar... Maukah kamu membantuku?" Sekar mengernyitkan dahinya namun senyuman masih bertengger di bibir tipisnya, "Bantu apa? kalau aku mampu, aku pasti akan membantu kamu, Rum."

"Jadilah ibu pengganti untuk anakku dan Regan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang