2. Awal

59 22 39
                                    

.

.

.

.

"Bangun, kemasi barang mu dan kita akan langsung pulang ke rumahku hari ini." Leon menendang tempat tidur untuk membangunkan Vian yang masih terlelap dalam damai.

"B-baik, t-tunggu sebentar." Vian dengan tergesa-gesa bangun dan mengemasi barangnya.

"Kalian mau kemana" cegah tuan Harco saat melihat Leon yang berjalan menuju lif dengan diikuti Vian dibelakang Leon dengan membawah kopernya.

"Pulang" jawab Leon singkat dan dingin.

"Pulang? Maksudmu pulang kemana, ke rumah atau ke apartemen mu" tanya tuan Harco tak kalah dinginnya dengan suara Leon.

"Kemana lagi, tentu saja ke apartemen. Bukankah dia sudah menjadi hak milikku, jadi aku bebas mau membawa dia kemana pun yang aku mau." ucap Leon menatap tajam pada tuan Harco ayahnya.

"Kau jangan macam-macam atau jangan sampai aku dengar kau menyakitinya." Kata-kata tuan Harco seolah tepat sasaran, sehingga hal itu membuat Leon tertegun sejenak sebelum dia membalas dengan
senyuman sinis dan melangkah masuk lif.

"Masuk, duduk dibelakang. Aku tak suka duduk berdampingan denganmu" ucap Leon dengan tatapan jijik sama Vian.

Dengan diam dan patuh Vian pun membuka pintu belakang setelah memasukkan kopernya di bagasi, beberapa kali Vian menghela nafas dalam dan dadanya berkembang dengan lama lalu dihembuskannya perlahan seolah dia sedang menahan amarah atas perkataan dan tatapan jijik dari Leon, karena sejujurnya Vian juga tak menginginkan keadaan seperti saat ini. Didalam hati Vian berfikir jika dia harus menikah sebaik ya dia menikah dengan orang yang mencintainya dan menerima keadaanya dengan ikhlas.

Selama dalam perjalanan Vian hanya diam dan duduk dengan tenang di kursi penumpang bagian belakang, rasanya untuk bernafas saja sulit bagi Vian karena aura yang mematikan muncul dari Leon. Vian menatap keluar jendela dan mengamati mobil-mobil
yang berlalu-lalang serat pohon yang berjajar rapi diluar. Sekitar 1 jam lamanya akhirnya mobil masuk dalam area parkir disebuah gedung bertingkat.

Tanpa suara Leon berjalan keluar dari mobilnya yang diikuti oleh Vian dibelakangnya. Dalam hati Vian hanya membatin kalau dia tak akan mungkin bisa membeli apartemen di kawasan ini, karena ini
adalah apartemen mewah dengan tingkat keamanan yang tinggi.

Saat memasuki rumah Vian menatap takjub pada suasana didalam rumah itu, rumah itu terlihat sangat luas dengan segala perabot yang serba mahal dan bermerek. Sebuah rumah yang terbagi antara ruang tamu dan ada sekat yang terbuat dari ukiran kayu untuk memisahkan rumah tengah yang terdapat sofa singgel berukuran besar serta sebuah tv tablet dengan ukuran yang lumayan besar juga, belok ke kiri akan bertemu dengan ruang makan dan dapur yang dipisahkan oleh mini bar yang terlihat ada beberapa baris minuman mahal. Lalu saat belok ke kanan dari ruang makan akan bertemu dengan sebuah pintu berukir yang merupakan kamar utama, disisi kanan ada kamar mandi dan disebelah kamar mandi ada pintu ukir lagi yang lebih sederhana yang memungkinkan kalau itu kamar tamu, dan ada lorong kecil disebelah kamar tamu untuk menuju tempat laundry serta ada satu kamar lagi yang bisa ditebak kalau itu kamar khusus untuk art.

Vian yang menatap dengan takjub berfikir kalau dia tak akan bisa dan tak akan sanggup untuk membeli rumah seperti ini dalam hidupnya.

"Kamarmu yang diujung itu, dan jangan pernah mengusik atau menggenggam privasi ku" suara yang berat dan dingin dari Leon seketika membuyarkan angan-angan Vian, dan membawanya kembali ke kenyataan.

"Baik" jawab Vian dengan cepat dan dia langsung berjalan menuju kamar yang ditunjuk oleh Leon padanya.

"Selamat datang tuan mudah" sapa seorang wanita paruh baya yang berdiri dibalik dapur dengan senyum ramah.

Getting married suddenly?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang