Pagi itu sebuah bank milik negara penuh oleh pengunjung. Amelia sengaja datang tepat jam delapan saat bank tersebut mulai buka. Berharap ia akan mendapat nomor antrian awal agar tidak terlalu lama terjebak dalam antrian panjang. Namun, harapannya sirna karena jauh sebelum bank tersebut buka sudah banyak pengunjung yang mengantri hingga panjang mengular.
"Gila! Masih pagi udah sepenuh ini pengunjungnya," gumam Amelia.
Ia segera mendatangi petugas untuk mengambil nomor antrian. "Saya dapat nomor antrian berapa, Pak?"
"Nomor sepuluh, Mbak," jawab petugas.
"Lumayan lama, ya, Pak? Padahal tadi sengaja berangkat pagi biar dapat nomor antrian awal."
"Mbaknya kurang pagi ke sini, bahkan tadi banyak pengunjung yang sudah antri sejak jam tujuh. Saya aja tadi belum mandi, Mbak. Silakan duduk dulu, Mbak," kata petugas.
Ia melongo mendengar jawaban petugas bank.
Amelia hanya pasrah menerima nasibnya pagi itu. Beberapa kursi yang terbuat dari besi berjajar rapi di ruangan bersuhu dingin dengan aroma wewangian yang menenangkan itu. Hampir semua kursi telah terisi oleh pengu jung yang dengan sabar menanti namanya dipanggil oleh petugas untuk mengurus keperluan para nasabah.
Amelia memilih duduk di bangku pojok dekat dengan dinding. Hanya ada dua buah kursi yang kosong di sana. Tepat di sebelah Amelia duduk, terpajang bunga anggrek ungu ukuran besar yang memesona.
Dikeluarkannya gadget dari tas selempang yang ia kenakan. Demi mengusir kepenatan karena menunggu antrian pagi itu, Amelia memilih membuka platform online langganannya dan membaca novel disana.
Tap!
Tap!
Tap!Terdengar langkah tegap mendekat ke arah Amelia, lalu sang pemilik langkah duduk tepat di bangku kosong di sebelahnya. Diliriknya sekilas, tampak seseorang berbalut baju loreng duduk tegap di sebelahnya. Badannya atletis dengan aroma parfum musk yang menyegarkan.
"Sendirian aja, Mbak?" Suara baritonnya bahkan mampu membius pendengaran Amelia.
"Apakah dia berbicara padaku?" gumam Amelia.
Ia bahkan tidak berani menoleh ke arah sumber suara.
"Mbak?"
"Maaf, Mas bertanya kepada saya?"
"Ya iya lah, emang siapa lagi yang kutanya, Mbak?"
Senyumnya merekah memperlihatkan deretan gigi putih yang terawat dengan baik. Sejenak Amelia terpana dengan sosok pria gagah nan tampan di sebelahnya. Kulit sawo matang yang memikat, hidung mancung serta alis tebalnya memesona, mirip dengan artis Timur Tengah.
"Tunggu sebentar, wajahnya seperti tak asing. Tapi, di mana aku pernah bertemu dia, ya?" gumam Amelia.
"Jangan terlalu lama menatap saya, Mbak Amelia. Takutnya nanti terpesona," kata Abyan dengan senyum yang mengembang.
"Asem nih orang, pede banget sih," gerutu Amelia dengan suara lirih hampir tak terdengar.
Sudah bisa dibayangkan wajah Amelia kini memerah bak kepiting rebus.
"Tunggu-tunggu! Kita kayak pernah ketemu tapi di mana gitu, ya, Pak, eh Mas, eh Om? Duh, jadi bingung aku manggilnya."
"Hahaha, kalau lagi panik gini wajah Mbak lucu. Tenang, Mbak, gak usah grogi. Panggil aja Mas, jangan Pak, kesannya terlalu tua, padahal aku masih muda banget gini lho," jawab Abyan panjang lebar.
Amelia hanya melongo mendengar penjelasan teman ngobrolnya itu yang menurutnya kelewat percaya diri.
"Oh! Ok, Mas Loreng."
Amelia tampak masih berpikir sembari mengingat-ingat sosok yang baru saja ditemuinya.
"Masih belum ingat, Mbak?"
Amelia menggeleng.
"Masa baru saja bertemu semalam sudah lupa."
Amelia tampak berpikir keras. "Astaga! Mas ini yang semalam di acara pengajian, ya? Yang duduk di samping Pak Kiai?"
Abyan masih memasang senyumnya yang menawan. "Iya, benar. Dan Mbak kan penanya terakhir pada sesi tanya jawab semalam, yang kepo tentang siapa saya."
Glekk.
Wajah Amelia semakin memerah karena malu.
Jika saja ada pintu ajaib doraemon saat ini ia ingin sekali membuka pintu itu dan menghilang dari hadapan pria loreng di sampingnya."Bulsyit! Kenapa aku harus ketemu dia lagi sih di sini, bikin aku kikuk aja, mana dia cakep banget lagi. Argh, sial!" umpat Amelia lirih.
"Ibu Amelia Rosalinda!" seru salah satu petugas bank memanggil nama Amelia.
Amelia merasa bersyukur karena merasa telah ditolong oleh petugas bank tersebut. Jadi kini ia punya alasan untuk menghindar dari pria loreng yang membuatnya kelimpungan karena malu.
"Maaf, Mas Ustaz, eh, Mas Loreng, permisi dulu karena namaku dipanggil."
"Ok. Monggo, silakan, Mbak Ameli. Terima kasih panggilan barunya untukku," ujarnya dengan tetap mengumbar senyum."
Amelia hanya mengangguk, kali ini otomatis kedua sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk senyum manis.
💞💞💞💞
[Mel, lu masih lama kah di bank? Ini ramai banget pelanggan, aku kewalahan.]
[Iya, sabar. Bentar lagi selesai kok.]
Salah satu pegawai Amelia mengirim sebuah pesan kepadanya.
"Maaf ya, Mas, jadi sedikit molor dari waktu yang disepakati. Soalnya saya kerja sendirian, bos saya masih ada urusan di luar."
"Ok, Mbak, gapapa. Acaranya juga masih nanti habis zuhur kok, masih ada waktu."
Milla-pegawai Amelia sedang menyiapkan beberapa kotak makanan untuk pelanggannya. Amelia memiliki usaha katering di rumahnya. Sejak dulu ia memang jago memasak. Kedua orang tuanya meninggal sejak ia masih kecil, sejak itu ia dirawat oleh kake neneknya yang waktu itu memiliki usaha warung makan. Dari neneknya lah Amelia belajar memasak. Setelah lulus SMA ia merantau bekerja di kota dan sangat jarang pulang ke kampung halamannya.
Kini, setelah kakek neneknya tiada, Amelia kembali pulang kampung, menempati rumah peninggalan neneknya, dan melanjutkan usaha katering. Ia menjalankan usahanya melalui jalur online maupun offline. Amelia juga bekerjasama dengan perusahaan pesan antar makanan online sehingga usahanya terus berkembang.
"Alhamdulillah, Mas, sudah siap semua pesanannya ini," seru Milla kepada pelanggannya yang berseragam loreng.
"Sudah, ya, Mbak. Ok, terima kasih banyak. Biar saya angkut, Mbak."
Milla lalu meneruskan pekerjaannya melayani beberapa pelanggan yang sudah menunggu pesanannya.
"Sial! Kenapa bisa tiba-tiba gembos gini sih," gerutu Hasan-sang pelanggan.
"Kenapa, Mas?" tanya Milla setengah berteriak karena pelanggannya sudah berada di pelataran yang agak jauh dari tempat Milla berdiri sekarang.
"Ban mobil saya gembos, Mbak."
"Waduh, gimana dong, Mas. Kalau ada bos saya sih bisa nganterin pakai kendaraan pick up, tapi sampai saat ini bos saya belum datang."
"Gapapa, Mbak. Biar saya telepon teman saya aja minta jemput."
Sertu Hasan mengeluarkan sebuah ponsel dengan logo buah yang tergigit sebagian itu dari saku baju lorengnya kemudian menghubungi seseorang. "Bro, kamu lagi di mana, bisa jemput aku nggak, mobil tiba-tiba gembos nih."
[Ok, ini aku juga udah mau jalan. Kamu di mana, kirim lokasinya.]
"Aku lagi ambil logistik untuk acara rapat nanti siang di 'Amel's Food'. Iya, ini aku kirim lokasinya. Buruan, ya!"
💞💞💞💞
Suara decit mobil bersamaan dengan berhentinya kendaraan roda dua di pelataran 'Amel's Food' milik Amelia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dakwah Cinta
RomanceKita tidak pernah tahu pada siapa hati kita akan berlabuh. Katanya orang baik-baik akan mendapat jodoh orang baik-baik pula. Namun, kadang kita menemukan hal yang janggal dalam dunia nyata. Orang yang tidal baik, malah berjodoh dengan orang baik, ra...