Sungguh hari ini adalah hari yang buruk bagi Jimin. Dimulai dari dia yang telat bangun, karena terburu-buru juga Jimin lupa membawa topi dan dasinya, jadi tadi pagi setelah upacara bendera selesai; Jimin dihukum terlebih dahulu.
Jalan bebek mengelilingi lapang sebanyak 3 kali keliling, sekarang paha nya terasa pegal luar biasa. Lalu kejadian buruk kedua adalah di kantin ketika Jimin ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan tenggorokannya namun bukannya merasakan segar, Jimin malah dibuat tambah emosi ketika seorang adik kelas tengah berlari bersama teman-temannya dan salah satu dari mereka menabrak Jimin hingga minuman yang Jimin pegang tumpah ke seragamnya sendiri.
Jimin bahkan menghiraukan permintaan maaf dari adik kelasnya itu, "lain kali hati-hati." Katanya dan pergi meninggalkan kantin.
Karena tidak mood belajar, Jimin memilih untuk membolos saja. Gadis itu pergi ke area dekat gudang, tempat biasanya anak-anak nakal sering merokok atau bolos disana. Tetapi hari ini area dekat gudang itu sepi, tidak ada orang sama sekali.
Jimin menghela nafas lega karena hal itu, dia sedang tidak mau berinteraksi dengan manusia manapun sekarang.
Kepalanya mendongak menatap langit biru yang terlihat indah bersamaan dengan berbagai macam bentuk awan. Tetapi saat kedua matanya tertuju ke lorong di lantai tiga yang sama sepinya, dia melihat seorang gadis yang sepertinya akan melompat dari lantai tiga itu.
Jimin panik, dia segera berlari mendekati. "Hey!" Teriaknya.
Gadis itu melihat Jimin dan tidak memperdulikannya sama sekali.
"HEH JANGAN LOMPAT! WOY! TUNGGUUUUUUUUU!!!" Jimin teriak sangat keras, dan setelahnya dia pun lari sekencang mungkin untuk naik ke lantai tiga dan menyelamatkan gadis bodoh yang ingin bunuh diri di sekolah.
Bagaimana jika nanti arwahnya gentayangan dan tidak tenang lalu menghantui warga sekolah termasuk dirinya? Tidak, Jimin tidak mau membayangkan bagaimana seramnya jika hal itu sampai terjadi.
Sampai di lantai tiga, ternyata gadis itu belum melompat, syukurlah. Jimin mendekat sembari menormalkan kembali nafasnya yang tidak teratur.
Kedua tangannya berkacak di pinggang, "turun." Suruhnya.
Gadis di depannya menoleh dan tersenyum kecil. Mereka berdua berkunci tatap dan baru kali ini Jimin melihatnya, selama tiga tahun dia sekolah di SMA Garuda, baru kali ini Jimin melihat gadis itu.
Wajahnya pucat namun cantik sekali, kulitnya putih, dan kedua matanya ikut tersenyum saat bibirnya tersenyum.
"Apakah kamu mau mati sendirian?" Tanya gadis itu.
Jimin mengernyit bingung. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu."
"Semuanya terasa menyakitkan tau. Menurut mu apakah jika kita mati, rasa sakit itu akan hilang?"
"Ya. Rasa sakit itu akan hilang. Tetapi jika kamu mati di tangan mu sendiri, aku rasa itu akan menjadi semakin menyakitkan."
"Kenapa begitu? Mati di tanganku kah, atau di tangan orang lain kah, ataupun jika sudah rencana tuhan, mati tetaplah mati."
Jimin menelan ludahnya dengan susah payah, percakapan tentang kematian ini sungguh sangat berat untuknya, tetapi jika itu dengan kata-kata bisa menyelamatkan satu nyawa, maka Jimin akan menyelamatkannya.
"Jika memang sudah rencana tuhan dan kamu mati, maka itu tidak akan menyakitkan. Jika kamu ingin mengakhiri rasa sakit, maka bukan ini caranya." Jimin mencoba untuk mendekat, lebih dekat sehingga dia bisa memegang tangan gadis itu yang terasa sangat dingin.
"Lalu, dengan cara apa?"
"Banyak, kamu tidak harus mengakhiri hidup mu."
"Pfftt." Gadis itu malah tertawa, awalnya hanya tertawa pelan saja namun lama-kelamaan tawanya semakin keras.
"Kamu ini gila, kah?" Tanya Jimin.
Gadis itu menggeleng. "Tidak, haduhhh ini sangat lucu."
"Apanya yang lucu? Bunuh diri menurut mu adalah hal yang lucu?!"
"Bukan, coba lihat itu."
Jimin mengikuti telunjuk gadis yang menunjuk ke arah pojok lorong, ada beberapa meja dan di sana juga ada satu kamera.
"What? Are you kidding me right now?"
Gadis itu akhirnya turun dan berdiri di depan Jimin, tangan kanannya terulur dan dia memperkenalkan dirinya sendiri. "Namaku, Kim Minjeong."
Namanya bagus, tetapi rasanya Jimin pernah mendengar nama itu sebelumnya, namun ia lupa dimana dan siapa. Dengan malas dia menjabat tangan Minjeong, "aku Yoo Jimin. Terimakasih atas prank nya, nona Minjeong."
"Tidak, ini bukan prank."
"Ya, terserah." Balas Jimin dan dia melangkah pergi meninggalkan Minjeong, tetapi baru saja beberapa langkah ia tempuh, kakinya berhenti saat ia mendengar perkataan Minjeong.
"Aku memang mau melompat tadi."
"Untuk apa? Kamu tau jika melompat dari sana semua tulang mu akan patah."
Minjeong tidak menjawab, dia hanya fokus menatap ke bawah. Karena penasaran akhirnya Jimin pun ikut melihat ke bawah, dan ternyata di bawah ada kucing yang sudah mati.
"Bukankah kasihan jika dia mati seorang diri?"
"Aduhhh, kamu nih ngawur banget. Aku mau kubur dulu kucingnya." Balas Jimin, dan dia kembali berlari menuruni tangga.
"Bagaimana jika gadis bodoh itu melompat saat aku turun ke bawah?" Batinnya, Jimin pun memutar tubuhnya dan memastikan Minjeong masih ada, dia menghela nafas lega saat melihat posisi Minjeong masih di tempat yang sama.
Jimin menarik Minjeong untuk ikut dengannya ke bawah, "aku tidak bisa meninggalkan mu sendirian."
Minjeong tersenyum kecil, dia memperhatikan kedua tangan mereka yang saling bertautan. "Yoo Jimin."
"Hm, apa?"
"Tidak, aku hanya ingin bilang jika kita akan sering bertemu lagi."
"Kita kan satu sekolah. Hal yang wajar jika kita akan sering bertemu"
"Dan aku akan terus menemui mu."
"Jika itu bisa membuat mu mengurungkan niat untuk bunuh diri, aku tidak keberatan."
To be continued...
Cerita baru kawan-kawankuu, semoga suka!!
Dan ini cerita pendek, jadinya hanya beberapa chapter saja, ditunggu yaaa...
love you<3
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta itu sederhana
Short Story→_→ Ternyata, cinta itu begitu sederhana. Seperti disaat kamu datang kembali, menepati janjimu dengan menawarkan sapu tangan mu, dan kita kembali berkenalan. grey, 2024