2. Hidup di Balik Jeruji Besi

4 0 0
                                    

Selamat datang di cerita SOFA....

Sebelum membaca, pastikan kalian sudah mengikuti akun ini agar tidak ketinggalan saat Author post part baru. Selamat membaca...




2015

Setelah satu jam perjalanan hanya bersandar di kursi bus, kedua kaki Hye Ji kembali berpijak pada tanah datar di tempat yang asing. Di kedua sisi tubuhnya tetap terjaga oleh petugas kepolisian, mereka terus mengiringnya sampai pada sebuah gedung tua dengan berbagai kisah para pelaku kejahatan di dalamnya. Dinding bercat putih terlihat kokoh, walau sudah termakan usia.

Gadis itu menjelajahi tempat tersebut dengan kedua matanya, merekam setiap penjuru dengan sepasang netra sayunya. Sesekali dia pernah membicarakan tempat bernama penjara bersama teman-teman sekolahnya sambil menikmati makan siang di kantin. Membayangkan bagaimana mereka hidup di sebuah ruangan sempit dengan para manusia yang melakukan tindak kejahatan di lingkungan. Hye Ji menyesal pernah membahas hal seperti itu dulu, setelah tubuhnya digiring ke tempat tersebut.

Selangkah memasuki lorong panjang dengan aroma jamur bercampur tanah basah, gadis itu perlahan kehilangan akal sehatnya. Kali pertama tubuhnya diseret karena memberontak, membela diri, serta bersikukuh bahwa dirinya tidak bersalah, sekarang tubuhnya hanya mengikuti jalan yang terbuka di depan.

Kedua matanya melirik ke kiri dan ke kanan, semua sel penjara yang terlewati diisi oleh para wanita yang menatapnya dalam kegelapan. Setiap langkahnya di sepanjang lorong diikuti tatapan menyelidik. Siapa dan mengapa mereka menatap Hye Ji seperti ingin memangsanya hidup-hidup, ia pun tidak tahu.

Salah satu petugas lapas yang mengantarnya, membukakan gembok besar yang mengunci pintu jeruji besi dengan aroma menyengat. Sambil memeluk keranjang berisikan peralatan pribadinya, gadis itu melangkah dengan langkah yang berat. Rasanya semakin berat saat dirinya disambut tiga pasang mata yang menembaknya sekaligus, tatapan tidak terima akan kedatangan si gadis bertubuh kurus bak ngengat di mata mereka.

"Kau harus bersikap baik!" seru petugas lapas tersebut sambil mengunci kembali jeruji besi tersebut dengan kasar hingga menimbulkan suara keras.

Sepasang netranya mengikuti kepergian kedua petugas lapas yang semakin menjauh, hatinya merengek, meminta untuk tidak ditinggalkan bersama para pelaku kejahatan tersebut. Kedua tangannya menggenggam erat jeruji besi yang mengurungnya, ia berteriak di dalam hati. Bayangan aksi pembunuhan dengan belati atau silet mulai menghantui otaknya setelah melihat tiga wajah menakutkan di sudut ruangan sempit itu.

"Yak!" Seseorang berteriak. Salah satu dari ketiga wanita bertubuh besar dengan beragam tato terlukis di tangannya bertingkah seperti siap memangsa. Matanya yang tajam seperti sebilah pisau yang baru diasah, menatap Hye Ji dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Hye Ji terdiam dengan kedua tangan yang gemetar hebat, kepalanya terkulai lemah menatap sepasang kaus kaki putih dekil yang menutup telapak kakinya. Dia menelan air liurnya dengan kasar, ketakutan telah menyelimuti tubuh kecilnya hingga tidak mampu mendekat kepada wanita yang kini masih menatap tajam ke arahnya.

"Kau tidak dengar? Aku memanggilmu!" Ia berbicara lagi, kali ini dengan suara yang lebih tenang walau masih terdengar dingin dan tegas.

Dengan langkah kecil gadis itu mendekat karena tidak ingin membuat wanita dengan rambut pendek bergelombang itu menghampirinya. Hye Ji membungkukkan tubuhnya seraya memberi salam, dan duduk di hadapan mereka dengan kepala tertunduk. Dia terlalu takut menjatuhkan pandangannya pada ketiga wanita di sana.

"Pembunuh baru?" Wanita lain dengan jenis suara lebih berat dari sebelumnya menunjukkan seringaian tipis. "Ck ... ck ... kau terlalu lugu untuk menjadi pembunuh, gadis manis!" Wanita dengan tubuh paling tinggi di antara yang lainnya, duduk bersandar dengan santai, sambil mengipas tubuhnya dengan kertas. Semua orang tahu pasti dia pemimpin di sana hanya dengan sekali lihat.

SOFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang