Aku Pulang (3)

18 9 0
                                    

Lima jam berlalu, mereka bertiga sudah sampai di stasiun Jakarta. Nuraini, Firman dan Fadli keluar dari kereta sembari membawa dua koper untuk pergi ke luar. Selanjutnya mereka bertiga bergegas pergi ke terminal untuk pergi menuju Pelabuhan Merak.

Saat mereka hendak keluar, Arif kini sudah sampai di stasiun Jakarta, ia berlari sambil melihat pintu dengan mencari keberadaan Nuraini serta anaknya satu per satu.

"Nuraini, Firman, Fadli. Kalian pergi ke mana?" Arif kebingungan.

Di lain sisi, Nuraini bersama Firman dan Fadli yang menunggu di depan, kini  gobar nan dipesan oleh Nuraini sudah sampai.

"Apa benar atas nama, Ibu Nuraini?" tanya Sopir.

"Iya, Pak. Itu saya sendiri," balas Nuraini.

Sopir pun mengangguk, lalu ia keluar dengan memasukkan kedua koper ke belakang. Sedangkan Nuraini duduk di depan, Firman dan Fadli duduk di belakang.

Selepas memasukkan kedua koper, mobil melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Merak.

***
Lima belas menit kemudian, Arif masih belum menemukan keberadaan Nuraini, Fadli dan Firman. Selepas itu, ia datang menghampiri penjaga stasiun sambil bertanya keberadaan Nuraini.

"Pak, tadi lihat perempuan yang mengenakan dress merah nggak, terus dia bawa dua anak laki-laki pakai kaos biru dan celana jeans?" tanya Arif.

"Maaf, Pak. Saya baru saja duduk di sini, jadi aku tidak tahu orangnya," balas bapak itu.

Kini Arif sedikit kesal, ini semua gara-gara kemacetan. Harusnya dua jam yang lalu, ia sudah ada di stasiun ini sambil mencari keberadaan Nuraini, Fadli dan Firman.

Setelah itu, Arif bergegas pulang ke rumah. Kini ia gagal untuk mengejar, ditambah ia tak bisa menghubungi Nuraini kembali. Hari ini ia gagal untuk melamar Nuraini.

***
Satu jam berlalu, mereka bertiga kini sudah sampai di Pelabuhan Merak. Lalu matahari mulai tenggelam. Tak lama, sebuah kapal mendarat ke pelabuhan dengan membawa dua ratus orang dari Pelabuhan Bakauheni.

Kemudian seorang nahkoda, yang telah bertemu lima tahun kemarin, kini dipertemukan kembali.

"Nak Firman, Fadli. Gimana kalian sudah bertemu ibu mu?" tanya Nahkoda.

"Iya, Pak. Alhamdulillah, sudah berhasil ini ibu kami," balas Firman dengan memperkenalkan Nuraini pada Nahkoda.

"MasyaAllah, cantik sekali. Bu, saya berterima kasih pada anaknya, sebab telah mengajari saya untuk traktir seseorang dan mengatur uang," ucap Nahkoda pada Nuraini.

Nuraini mengangguk tersenyum. "Iya pak, sama-sama, tapi aku nggak mengerti apa yang bapak katakan."

"Maksud saya sudah mengajarkan etika saat di traktir orang lain, terus membayangkan makanan jika tidak ada uang, ditambah aku bangga melihat mereka berani dari Simpang Niru ke Yogyakarta dengan menaiki sepeda."

"Iya, Pak. Itu bukan etika tapi adab, Pak. Semua orang bisa melakukan nya. Ngomong-ngomong kapal nya kapan mau jalan, Pak?"

"Oalah, jadi begitu. Satu atau dua jam lagi, Bu."

Nuraini mengangguk, sedangkan Firman dan Fadli kelaparan sebab hari sudah sore.

"Bu, aku lapar?" panggil Fadli.

"Aku juga sama, Bu," tambah Firman.

"Nak, kalian lapar. Ya sudah, ayo bapak traktir makan nya," ajak Nahkoda.

"Heh. Nggak usah, Pak." Nuraini berusaha menolak.

"Nggak pa-pa, Bu. Tak usah khawatir, lagi pun saya suka kok sama anak-anak," balas Nahkoda.

Nuraini diam saja, namun ia takut kalau pikiran Nahkoda sama seperti Arif. Saat sampai di kantin, Nahkoda bertanya pada Fadli dan Firman.

"Nak, kalian mau makan dan minum apa?" tanya Nahkoda.

"Aku mau, nasi ayam yang lima tahun kemarin terus sama es teh, Pak," balas Fadli.

"Aku juga sama," tambah Firman.

"Oalah, mau makanan yang murah lagi, yah. Oh iya, Bu mau makan apa?" balas Nahkoda, lalu mengalih pertanyaan pada Nuraini.

"Aku mau seperti mereka aja, Pak," balas Nuraini.

Nahkoda mengangguk tersenyum, lalu ia pergi ke arah penjual untuk memesan makanan dan minuman. Selepas memesan makanan, Nahkoda datang kembali kemudian membuka obrolan pada Nuraini.

"Maaf, Bu, sebenarnya kalian mau ke mana?" tanya Nahkoda.

"Aku mau pulang kampung, Pak. Aku bekerja menjadi desainer sudah habis kontrak nya, hingga itu aku memilih pulang dan membuka bisnis kecil-kecilan," balas Nuraini.

"Oalah, terus mengapa ibu nggak cari kerja lagi di Yogyakarta, emang di situ nggak bisa naik karir, Bu? Hum ... bagus kalau begitu, ngomong-ngomong ibu nggak ada niatan mau menikah, kayaknya kasihan lihat Firman dan Fadli tanpa seorang ayah."

"Aku juga berpikir seperti itu, tapi aku takut, Pak. Hum ... kali ini aku mau memilih hidup sendiri untuk membesarkan kedua anakku, susah untuk mencari ayah sambung seperti Almarhum suami ku."

Nahkoda kini diam saja, sebenarnya ia tertarik dengan Nuraini, apalagi pada Firman dan Fadli yang jagoan. Namun, karena itu adalah keputusan Nuraini, ia juga tak bisa berkata apa-apa.

Aku Pulang #SHORTSTORY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang