Lentera - 02

65 5 0
                                    

Perkataan Nakula sore tadi terus terngiang di benaknya. Rasanya masih menyakitkan dan sesak. Ia tak bisa menyalahkan adiknya, ini semua sudah takdir. Ia mengerti Nakula merasa sangat terpukul akibat kehilangan ibu yang selama ini selalu bersama mereka. Dia tidak masalah Nakula marah ataupun membencinya. Yudhistira hanya tidak ingin Nakula menyalahkan takdir.

Dia tidak mau adiknya merasa ini adalah kesalahan. Semua yang terjadi dan akan terjadi sudah ditetapkan sebelum manusia lahir ke dunia. Daun jatuh, sakit, kelahiran, kematian, semuanya sudah diatur oleh sang pencipta. Yudhistira ikhlas dengan apa yang terjadi. Dia hanya perlu bersabar dan menunggu hikmah apa yang terjadi di balik kepedihan ini.

"Kami pulang."

Senyum Yudhistira mengembangkan kala telinganya menangkap suara Sadewa dan bunyi pintu yang terbuka. Dia menaruh piring berisi potongan tempe goreng yang baru saja ia masak di atas dipan bambu. Kakinya melangkah menuju pintu, berniat menyambut kedatangan Nakula dan Sadewa.

"Kalian pasti lapar, kan? Ayo makan dulu! Mas udah masak." Senyuman Yudhistira sempat surut beberapa saat ketika Nakula melewatinya begitu saja. Namun ia kembali memasang senyuman manis pada Sedewa.

"Ayo, Mas. Dewa udah lapar." Sadewa menepuk perutnya dan memasang wajah kelaparan. Yudhistira tertawa sejenak, ia menggiring Sedewa menuju dapur. Keduanya makan di atas dipan berbahan dasar bambu yang dibuat oleh Yudhistira dua tahun lalu.

Keduanya makan dengan lahap. Mereka menghabiskan satu centong nasi dan satu potong tempe goreng sebagai lauk. Yudhistira ingin sekali membeli telur untuk kedua adiknya makan, namun uang yang dimilikinya tidak cukup. Ia mengandalkan sisa beras dan juga beberapa potong tempe yang tersisa di rumah. Dia harus mulai bekerja untuk mendapatkan uang.

Setelah selesai makan, Sedewa membantu Yudhistira untuk membersihkan piring sisa mereka makan. Dia menaruh bakul nasi dan piring berisi dua potong tempe goreng di atas dipan dan menutupinya dengan secarik kain bersih.

Ia memasuki ruangan yang menjadi kamarnya. Dinding kamar ini terbuat dari anyaman bambu. Beberapa atapnya sudah berlubang termakan waktu. Rumah mereka memanglah bukan tempat yang mewah. Namun, di rumah ini tersimpan banyak kenangan indah dari dirinya lahir hingga kini.

Dia menatap Nakula yang tertidur di atas kain tipis yang menjadi alasnya. Sedewa menghela nafas sedih. Jika ada ibu, mereka pasti tidak akan secanggung ini. Ibu selalu punya cara agar mereka kembali damai setelah bertengkar.

Sadewa meraih secarik kain dan menyelimuti tubuh Nakula dengan kain tersebut. Dia duduk di samping Nakula yang tertidur dengan kening berkerut dan nafas memburu.

Sadewa menyentuh kening Nakula lalu mengelus nya perlahan. Persis seperti yang biasa ibu lakukan jika dia dan saudaranya bermimpi buruk.

Berangsur-angsur kerutan di kening Nakula menghilang dan nafasnya kembali normal.

"Ibu... Dewa rindu."

***

Yudhistira terbangun pukul 04.00 pagi. Dia meregangkan tubuhnya sejenak untuk mengumpulkan nyawa. Setelah itu, ia bangkit menuju kamar mandi yang berada di belakang rumah.

Selesai membersihkan tubuh dan mengambil wudhu, Yudhistira bergegas menuju masjid untuk melaksanakan sholat shubuh berjamaah.

"Nak Yudhi, kamu saja yang adzan." Seorang laki laki paruh baya mendorong punggungnya pelan.

"Eh, yang lain saja, Pak." Yudhi segera menolak dengan sopan.

"Sudah tidak apa apa," Sesepuh kampung segera menanggapi penolakan Yudhistira.

𝐋𝐞𝐧𝐭𝐞𝐫𝐚 𝟏𝟗𝟗𝟗 : Di balik jendela waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang