Sadewa tersentak. Dia segera menutup bukunya dan menyalami tangan pria yang ternyata adalah gurunya itu.
"Maaf, Pak." Sadewa memasang wajah menyesal karena tidak menyadari bahwa beliau adalah gurunya.
Bapak itu tersenyum kecil. Tangannya terulur menepuk pucuk kepala Sadewa.
"Tidak apa-apa. Wajar saja kamu tidak mengenal saya, karena saya memang guru baru di sini. Oh iya, gambar kamu bagus. Kamu berbakat melukis, ya?"
Belum sempat Sadewa menjawab, salah seorang teman sekelasnya berseru tidak setuju, "coretan kaya gitu apa bagusnya, sih. Pak? Kalau cuma corat-coret kami juga bisa," balasnya yang disetujui oleh murid lain.
Pak Bhaskara––guru baru tersebut menggeleng pelan. "Coretan yang dibuat teman kalian ini bukan sekedar coretan biasa. Jika kamu perhatikan, terdapat makna tersembunyi dari coretan tersebut. Dalam seni coretan ini disebut abstrak. Tidak semua orang bisa membuat gambar abstrak. Teman kalian ini termasuk berbakat."
Hening. Mereka melirik Sadewa yang menunduk di kursinya.
"Bapak pinjam buku kamu, boleh?"
Sadewa mendongak. Dia bergerak tidak nyaman di atas kursinya karena ditatap sedemikian rupa oleh banyak orang. Dengan kaku kepalanya mengangguk.
Pak Bhaskara meraih buku tulis Sadewa dan membuka halaman paling akhir. Dia menunjukan gambar tersebut di depan seluruh murid VIII A."Lihat, coretan ini membentuk sebuah pola bulat. Ini matanya. Lalu yang sedikit panjang ini hidungnya. Dan yang seperti jaring ini adalah––" Suara pak Bhaskara tercekat saat menyadari makna dari gambar tersebut.
"Gambar ini memiliki arti yang sangat dalam. Siapa namamu, Nak?"
"Sadewa."
"Sadewa, asah terus kemampuanmu. Siapa tahu di masa depan kamu bisa menjadi seorang pelukis terkenal."
Pak Bhaskara menepuk pundak Sadewa.
***
Yudhistira berjalan memasuki sebuah pekarangan rumah bercat hijau. Dia melepaskan alas kakinya dan mendekat ke arah pintu. Tangannya terangkat mengetuk pintu sebanyak dua kali. Dia bisa mendengar sahutan dari dalam sana. Sambil menunggu sang tuan rumah datang.
Yudhistira memandang halaman rumah yang nampak dipenuhi oleh berbagai macam tanaman.
Di ujung halaman, terdapat sebuah pohon rambutan yang berbuah lebat dan menjulang tinggi. Musim buah sudah tiba.
"Nak Yudhi?"
Yudhistira berbalik. Dia tersenyum ramah pada seorang laki laki berkumis yang membukakan pintu.
"Assalamu’aikum, selamat pagi, Pak." Yudhistira meraih tangan bapak itu.
"Wa’alaikumsalam, kamu nggak sekolah?"
Yudhistira menggeleng. "Hari ini saya mau jualan aja."
"Lho? Kenapa? Kan kamu bisa jualan setelah pulang sekolah. Bapak nggak mau sekolah kamu terbengkalai karena hal ini. Masa depan kamu masih panjang." Bapak itu memegang kedua pundak Yudhistira. Dia bisa melihat tekad yang kuat dari mata gelap itu.
"Nggak apa-apa, Pak. Yang terpenting adik adik saya bisa makan."
Bapak itu menatap Yudhistira dengan pandangan sedih. "Bapak turut berdukacita atas kepergian ibu kamu. Kalau kamu butuh apapun, datang saja ke mari. Rumah Bapak selalu terbuka untuk kamu dan kedua adikmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐞𝐧𝐭𝐞𝐫𝐚 𝟏𝟗𝟗𝟗 : Di balik jendela waktu
FanfictionSetelah kematian ibu, ketiga bersaudara itu harus menghadapi dunia tanpa sosok yang selama ini menjadi cahaya dalam hidup mereka. Yudhistira, sang sulung, kini harus mengemban beban berat sebagai kepala keluarga, menggantikan posisi sang ibu yang te...