Lentera - 05

22 3 0
                                    

Kepala remaja laki-laki itu mendongak. Matanya beradu pandang dengan manik madu milik seorang gadis yang menjulang di atasnya. Gadis itu memiliki rambut lurus sepundak yang di gerai. Hidungnya mancung bak sebuah perosotan, kulitnya kuning langsat, dan bibir plum itu tersenyum kepadanya.

Sedewa mengerjap. Dia menutup bukunya. "Kamu siapa?"

Gadis itu duduk di hadapan Sedewa. Tangannya terulur.

"Aku Zahra. Teman sebangku kembaran kamu."

Sedewa mengambil uluran tangan gadis bernama Zahra itu dengan canggung. Baru kali ini ada gadis yang mengajaknya bicara walaupun sekadar berkenalan.

"Kamu sering ke sini? Kok aku nggak pernah lihat kamu, ya?"

Sadewa kembali membuka bukunya. "Aku sering ke sini. Tapi nggak selalu."

Zahra melirik buku yang dipegang oleh Sadewa. "Itu buku apa?"

"Buku motivasi," balas Sadewa.

Zahra tertawa kecil. "Kayaknya kamu harus pinjemin buku ini ke Nakula, deh."

Alis Sadewa bertaut. "Maksudnya?"

Zahra bertopang dagu dengan lututnya sebagai penyangga. Keduanya duduk di lantai dengan karpet plastik sebagai alasnya. "Nakula terlalu monoton. Kaya nggak punya motivasi hidup."

Sadewa terkekeh. Kakak kembarnya yang satu itu memang mudah merasa kikuk. Terkadang dia bisa menjadi sangat cerewet dan jahil. Namun sejak kepergian ibu, kedua sifat itu ikut menghilang. "Kamu udah lama temanan sama kak Kula?"

Zahra tersenyum bodoh. Dia mengusap lehernya.

"Sejak awal kelas 8 kami satu meja. Tapi kami berdua terlalu canggung untuk disebut teman. Lebih tepatnya, Nakula sepertinya nggak menganggap aku sebagai temannya."

Zahra meringis mengingat keduanya jarang sekali bertegur sapa walaupun duduk bersebelahan, itupun harus dirinya dahulu yang memancingnya agar bicara. Jarang sekali dia melihat Nakula tersenyum, mungkin hampir tidak pernah.

Selama menjadi teman satu meja Nakula, Zahra seringkali melirik Nakula dalam diam. Bisa dibilang Nakula adalah anak yang cukup populer. Selain karena wajahnya yang tampan, Nakula termasuk jajaran peringkat lima besar pararel. Dia memang jarang menunjukan ambisinya di kelas, namun otaknya sangat encer.

"Tapi Nakula pintar, ya. Aku masih nggak menyangka kalau dia termasuk lima besar pararel satu sekolah," lanjut gadis itu.

Sadewa mengangguk. "Pelajaran kesukaan Kak Kula itu Matematika. Aku juga penasaran ibu ngidam apa waktu hamil Kak Kula."

Tawa Zahra lepas. Dia menepuk tangannya sambil tertawa keras.

"Tolong jangan berisik! Ini perpustakaan," tegur penjaga perpustakaan.

Zahra berdehem menahan agar tawanya tidak kembali pecah. "Sumpah? Cowo urakan kaya Nakula suka Matematika? Tapi aneh banget, kalau Matematika itu pelajaran favoritnya, kenapa setiap pelajaran itu dia sering kena marah Bu Bunga?" Kali ini Zahra berkata dengan suara pelan. Takut kembali ditegur oleh penjaga perpustakaan.

Nakula mengangkat bahunya tidak tau. "Itu sih emang Bu Bunganya aja yang kepingin marah marah."

Zahra menutup mulutnya menahan tawa. Dia tidak pernah menyangka adik dari Nakula bisa selucu ini. Kalau tahu begitu, dia lebih baik berteman dengan Sedewa dibandingkan dengan kakaknya yang seperti batu.

"Aku jadi ikut penasaran ibu kamu ngidam apa waktu hamil kalian berdua. Kok anaknya yang satu bisa sepintar Nakula dan selucu kamu."

"Aku.... lucu?" Sadewa menunjuk dirinya sendiri dengan wajah tidak percaya.

Zahra kembali mengangguk. Matanya menatap Sadewa penuh binar bahagia. "Iya, kamu lucu. Banget malah. Kalau tau begitu, dari awal aku udah ajak kamu berteman."

"M-makasih." Sadewa menggosok hidungnya gugup. Baru kali ini ada yang mengatakan dirinya lucu. Bahkan ibu dan kedua kakanya saja tidak pernah.

"Kamu juga em... cantik?"

Pupil Zahra melebar. Dia tidak menyangka Sadewa akan balas memujinya. Bibir plum itu membentuk lekungan indah. "Makasih."

"Oh iya, kamu nggak jajan?" Zahra mengubah topik pembicaraan. Jika tidak begitu, suasana akan terasa canggung.

Sadewa menggeleng. "Aku masih kenyang. Kamu sendiri nggak jajan?"

"Sebenarnya, tujuan aku ke perpustakaan itu untuk tidur."

"Kalau begitu tidur aja. Nanti kalau bel masuk bunyi, aku bangunin."

Mata Zahra mengerjap. "Eh? Nggak apa-apa?"

"Nggak masalah. Lumayan masih ada waktu lima menit untuk sekadar menutup mata."

"Terima kasih banyak, Sadewa! Aku tidur dulu sebentar, ya." Tubuh gadis itu bersandar pada tembok. Dia mulai memejamkan matanya.

Sadewa berdehem membalas ucapan Zahra. Dia kembali membaca bukunya yang sempat tertunda. Ia melirik Zahra dari ekor matanya. Gadis itu terlihat sudah terlelap dengan sangat mudah. Sadewa menggeleng pelan.

***

Yudhistira termenung duduk di trotoar pinggir jalan. Tatapannya terus mengarah ke arah alun alun yang tidak terlalu padat pengunjung. Di depannya terdapat gerobak bakso milik Pak Haryanto yang dia perdagangkan. Sudah satu jam dia berada di sini, namun dagangan nya sama sekali belum laku satupun.

Yudhistira beranjak. Dia memikul gerobak itu di pundak kanannya. Jika terus di sini Ia tidak akan mendapatkan pembeli. Yudhistira harus pintar-pintar mencari konsumen agar dagangannya terjual.

Kakinya panjangnya melangkah meninggalkan kawasan alun-alun. Dia berkeliling sambil menawarkan bakso dagangannya. Langkah kakinya berhenti saat melewati SMA tempat dirinya mengenyam pendidikan.

Yudhistira sudah memikirkan keputusan berat yang harus dia ambil. Mungkin besok atau lusa dia akan kembali ke sekolah ini.

Kakinya kembali melangkah. Sinar matahari yang menyengat kulitnya tidak memadamkan semangatnya untuk mencari nafkah. Dia terus menguatkan tekadnya. Karena jika bukan dirinya yang banting tulang, kedua adiknya bisa kelaparan.

Yudhistira berheti di depan Sekolah Dasar. Dia menaruh gerobak itu di tanah. Tangannya bergerak mengusap peluh dipelipisnya.

"Baksonya, Bu," tawarnya pada sekumpulan ibu-ibu yang duduk menunggu anak-anaknya.

Ibu Ibu tersebut terlihat saling bicara sebentar. Kemudian salah satunya mendekat ke arah Yudhistira.

"Pesan baksonya tujuh ya, Mas."

"Campur semua, Bu?"

Ibu itu mengangguk lalu kembali menuju tempatnya.

Yudhistira mengucap syukur dalam hati. Dengan cekatan dia menyiapkan pesanan bakso dari ibu tersebut. Wangi kaldu yang menggugah selera menguar saat dia membuka tutup panci. Yudhistira meracik bumbu dengan takaran yang sangat pas. Dia menaruh bawang goreng sebagai polesan terkahir dari tujuh mangkuk bakso yang di pesan.

Yudhistira tersenyum riang. Dia membawa mangkuk tersebut menuju para ibu yang sedang berkumpul.

"Selamat menikmati." Yudhistira menaruh tempat sambal di samping ibu yang tadi memesan baksonya.

"Makasih, Mas."

Yudhistira pamit undur diri. Dia merasa puas saat ibu ibu tersebut menikmati baksonya. Yudhistira berdoa dalam hati, semoga usaha ini bisa berjalan lancar.

Lamunannya buyar saat mendengar teriakan anak anak yang baru saja keluar dari gerbang sekolah. Anak-anak itu tertawa riang dan berlarian menuju orang tuanya.

Masa kecil yang indah. Ia berharap senyum anak-anak itu tidak akan pernah pudar termakan waktu.

"Mas, ini uang untuk bakso yang tadi. Saya pesan lagi tiga, ya. Buat dibawa pulang. Baksonya enak." Seorang wanita menyodorkan selembar uang. Yudhistira mengucapakan terima kasih dan segera membuat pesanan ibu tersebut. Dalam hati, ia tak henti mengucapkan syukur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐋𝐞𝐧𝐭𝐞𝐫𝐚 𝟏𝟗𝟗𝟗 : Di balik jendela waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang