Sadewa masuk ke kamar dan mendapati Nakula tengah merapikan seragam sekolahnya. Ia menarik tangan kakak kembarnya menuju Yudhistira yang tengah menunggu mereka. Nakula berdecak sebal dengan perilaku Sedewa. Padahal dia berniat melewatkan sarapan karena malas bertemu dengan Yudhistira. Namun, Sedewa terlebih dahulu menarik tangannya sebelum dia sempat menolak.
Yudhistira menyedok satu centong nasi dan menaruhnya di piring plastik. Kemudian dia menaruh satu potong tempe di atasnya dan memberikannya pada Sadewa.
"Makasih, Mas!" Sadewa meraih piring yang disodorkan Yudhistira dengan perasaan bahagia. Dia melupakan sejenak kesedihannya setelah ditinggal pergi ibu.
"Ini punya kamu."
Nakula melirik piring tersebut sekilas.
"Ambil! Kamu boleh benci Mas semau kamu. Tapi jangan pernah melewati waktu makan. Benci Mas juga butuh tenaga."
Dengan ogah-ogahan Nakula meraih piring tersebut.
"Piring Mas mana?" Sedewa bertanya saat menyadari Yudhistira hanya menyiapkan sarapan untuk dia dan Nakula, tidak untuk dirinya sendiri.
Yudhistira menegakkan tubuhnya. Ia berjalan meninggalkan si kembar untuk merapihkan rumah."Kalian makan aja. Mas belum lapar," bohong Yudhistira. Karena sebenarnya nasi dan tempe yang tersisa hanya cukup untuk dua porsi. Dia bisa menahan rasa laparnya, yang terpenting kedua adiknya tidak kelaparan.
"Tapi–"
"Udah makan aja! nggak usah banyak omong," sela Nakula. Dia mulai menghabiskan sarapannya tanpa mempedulikan Sadewa yang menatapnya kesal.
"Ini uang saku kalian. Maaf Mas cuma bisa ngasih segini." Yudhistira memberikan beberapa lembar uang dari hasil membongkar celengan. Sisa uang dari celengan tersebut akan ia belikan beras dan lauk untuk makan.
Sadewa menatap ragu uang tersebut. Ia tahu bahwa kakak laki-lakinya ini pasti telah membongkar celengan ayamnya untuk memberi uang saku untuknya.Yudhistira yang menyadari tatapan Sadewa segera berkata, "ambil aja. Mas masih ada simpanan, kok."
Sadewa mengambil uang tersebut dari tangan Yudhistira. Berbeda dengan adiknya, Nakula melewati tubuh Yudhistira sambil membawa piring bekas makannya. "Simpan aja. Aku nggak butuh," katanya dengan nada ketus.
Yudhistira tak mempedulikan penolakan Nakula. Ia meraih telapak tangan Sadewa dan menaruh uang tersebut di atasnya seraya berkata, "nanti kasih uang ini ke Nakula." Yudhistira tersenyum singkat dan melepaskan tangan adiknya.
Sadewa menatap Yudhistira dengan pandangan sedih. Merasa tidak enak karena perlakuan kasar kembarannya.
Menyadari gelagat Sadewa, Yudhistira menggeleng. "Mas nggak apa-apa. Sini mas cuci piringnya. Kamu cepat pakai sepatu. Nanti terlambat." Ia mengambil alih piring bekas makan Sadewa dari tangannya."Mas nggak siap-siap sekolah juga?" Tanya Sadewa bingung.
Yudhistira menggeleng. "Mas hari ini izin nggak masuk sekolah."
Sadewa tak lagi bertanya. Dia membalikan tubuhnya memunggungi Yudhistira. Tumitnya melangkah ke dalam kamar untuk mengambil tas.Setelah berpamitan dengan Yudhistira—tentunya hanya Sadewa yang berpamitan––Sadewa dan Nakula berangkat menuju sekolah dengan berjalan kaki. Keduanya berjalan beriringan sambil menikmati udara pagi yang masih sejuk. Jarak rumah dan sekolah bekisar sejauh 1 kilometer.
Tak seperti biasanya, kini keduanya tak banyak bicara. Mereka asik dengan pikiran masing-masing. Sadewa berdehem canggung. Jujur saja dia bingung harus melakukan apa. Kali ini, Nakula mendiamkan dirinya lebih parah daripada saat mereka bertengkar.
Setelah beberapa saat, akhirnya mereka tiba didepan gerbang sekolah menengah pertama di daerah tersebut. Baru saja melewati gerbang, si kembar mendengar suara tawa menyebalkan yang mengganggu telinganya.
"Kasian banget. Kemarin nggak punya ayah, eh sekarang nggak punya ibu." Beberapa anak berseragam putih biru terbahak mendengar celetukan seorang anak laki laki.
Secara otomatis, kaki si kembar berhenti. Dengan kompak mereka menoleh ke arah kumpulan anak laki laki itu. Nakula memberi kode melalui matanya––menyuruh Sadewa pergi ke kelas terlebih dahulu. Sadewa jelas menolak. Dia sangat marah dengan perkataan tak bermoral dari anak laki-laki tersebut.
"Maksud kamu apa?" Sadewa maju beberapa langkah.
"Wow, si anak aneh bisa marah juga."
Tawa mereka terdengar semakin kencang.Kedua tangan Nakula mengepal di samping tubuhnya. Dia menarik pundak Sadewa agar mundur. Tepat di depan mereka, tangannya mencengkram kerah seragam salah satu anak yang mengatai adiknya.
"Jaga mulut kalian!" Nakula berkata dengan nada rendah penuh ancaman.
"Ada apa ini?" Seorang pria paruh baya berjalan mendekati mereka. Beliau merupakan salah satu guru di SMP tempat si kembar bersekolah.
Nakula melepaskan cengkraman di kerah baju anak itu dan berbalik untuk menghadap gurunya."Cepat masuk ke kelas kalian masing masing! Awas saja jika bapak menemukan kalian bertengkar lagi," ancam guru tersebut.
Sadewa menarik lengan Nakula yang masih menatap tajam kumpulan anak itu.
Sesampainya di depan kelas, Nakula melepaskan tangan Sadewa yang mencengkram lengannya. Dia masuk ke dalam kelas dan menaruh tasnya di kursi dengan kasar. Matanya memerah karena menahan emosi. Dia tidak masalah jika anak anak itu menggangu dirinya seperti biasa. Namun, Nakula tidak terima jika mereka ikut mengganggu adiknya.
"Kamu kenapa?"
Nakula menoleh ke samping. Seorang anak perempuan ber-nametag Zahra menatap dirinya aneh.
Nakula menggeleng lalu duduk di sebelah Zahra.
"Bimo ganggu kamu lagi?" Zahra kembali bertanya. Jarang sekali dia melihat teman sebangkunya semarah ini. Tubuh Zahra menyerong menghadap Nakula yang menggertakkan giginya.
"Mereka menganggu Dewa."
Pelipis Zahra mengerut. "Dewa? Oh! Adik kembar kamu?"
Nakula berdehem.
"Anak-anak itu nggak ada bosennya ganggu kamu terus. Sebenarnya kalian punya masalah apa, sih?"
Nakula menggedikkan bahunya.
"Entah."
Zahra menopang dagunya dengan kedua tangan. Pandangannya tertuju pada Nakula yang tengah memejamkan mata. Zahra bisa melihat lingkaran hitam di bawah mata anak itu."Kamu baik-baik aja?"
Kelopak mata Nakula terbuka. Netra keduanya bersitatap. Zahra terkesiap melihat tatapan lelah dan kesedihan dari bola mata gelap itu.
Di kelas lain, Sadewa duduk di kursinya sambil mencoret-coret bukunya asal. Dia kesal sekali dengan anak-anak itu. Namun di lubuk hatinya, ia merasa sedih dengan apa yang mereka katakan. Apalagi saat mereka membawa nama Ibu. Seakan luka yang Sadewa coba tutupi terbuka lebar sekali akibat ucapan anak itu.
Sadewa juga sadar dengan sebutan 'aneh' yang mereka tunjukkan untuk dirinya. Dia menyadari perilaku teman sekelasnya menjauhinya dan jarang mengajaknya mengobrol jika bukan karena hal penting. Padahal, Sadewa merasa dirinya tidak pernah melakukan hal-hal yang aneh. Dia hanya duduk diam di kursinya dan tidak pernah mengganggu teman temannya yang lain.
Oh! Sadewa ingat. Apa mungkin karena kebiasaannya berbicara pada hewan yang membuat dirinya nampak seperti orang aneh?
Tanpa sadar coretan asal Sadewa dibukunya menghasilkan suatu gambar abstrak. Setiap halaman akhir buku pelajarannya akan selalu di isi dengan goresan pensil yang jika dilihat sekilas terlihat seperti coretan pada umumnya, namun jika diteliti lebih dalam, terdapat makna dari setiap coretan tersebut.
Sadewa bersenandung pelan sambil terus menggoreskan ujung pensilnya di atas kertas putih.
"Kamu berbakat."
Sadewa menghentikan gerakan tangannya. Dia mendongak dan mendapati seorang pria dewasa yang menjulang tinggi di depannya. Wajah pria itu nampak asing, Sadewa merasa tidak pernah bertemu dengan pria ini.
"Siapa?"
"Saya wali kelas baru kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐞𝐧𝐭𝐞𝐫𝐚 𝟏𝟗𝟗𝟗 : Di balik jendela waktu
FanfictionSetelah kematian ibu, ketiga bersaudara itu harus menghadapi dunia tanpa sosok yang selama ini menjadi cahaya dalam hidup mereka. Yudhistira, sang sulung, kini harus mengemban beban berat sebagai kepala keluarga, menggantikan posisi sang ibu yang te...