Lentera - 01

103 8 0
                                    

Wanita setengah baya itu menatap wajah sang putra sulung. Putranya yang dulu ceria dan penuh semangat, kini lebih sering terlihat tenang. Ia tahu, di dalam diri Yudhistira ada keraguan yang sering ia sembunyikan. Bahwa hatinya tak jarang terbebani oleh pilihan-pilihan yang harus ia buat, oleh tanggung jawab besar yang datang seiring dengan usia dan takdir yang menanti.

“Yudhistira,” panggilnya dengan suara serak. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya yang kaku.

Yudhistira duduk di samping ibunya, menggenggam tangan keriput yang sudah kehilangan kehangatan. Di luar, hujan turun dengan derasnya, menciptakan suara gemuruh yang meresap ke dalam rumah yang sepi. Hembusan angin yang dingin menyelinap melalui celah jendela, namun di sini, di ruangan ini, segala sesuatu terasa diam dan hening. Hanya ada suara napas ibunya yang lemah, yang seakan berjuang melawan waktu yang tak bisa ditundukkan.

"Yudhi di sini," ucapnya pelan sambil mengelus punggung tangannya.

Ibu tersenyum, kedua matanya menatap putra sulungnya bangga. Ia ingat ketika Yudhistira masih seorang anak kecil, berlari-lari di halaman rumah, penuh tawa dan kebahagiaan. Betapa bahagianya ia melihat putranya tumbuh menjadi seorang pemuda tampan yang penuh perhatian.

“Yudhistira… Kamu sudah besar sekarang… menjadi pemuda yang kuat,” ucapnya dengan suara serak.

“Ibu titip adik-adikmu, Nakula dan Sadewa. Jaga dan bimbing mereka. Ibu percaya padamu,” lanjutnya.

Ia tahu, waktunya tinggal sedikit. Ada begitu banyak hal yang belum ia katakan, begitu banyak kenangan yang belum sempat ia ungkapkan. Tetapi waktu tak memberi kesempatan.

Tubuh Yudhistira menegang. Dalam diam, Yudhistira mencoba menahan air mata yang hampir tak tertahankan. "Yudhi yakin ibu pasti sembuh!" bantah Yudhistira. Mata pemuda yang beranjak usia tujuh belas tahun itu berkaca-kaca. Dia semakin mengeratkan genggamannya.

Ibu tersenyum lemah. "Jaga dirimu dan kedua adikmu baik-baik, ibu sangat menyayangi kalian semua."

Nafas ibu tercekat. Ia mencoba bernafas meski sulit. “Mas, ingatlah. Ibu selalu ada di setiap langkahmu, di setiap doa yang kamu panjatkan. Jangan takut untuk melanjutkan hidup.”

Yudhistira mengambil tangan ibu dan menciuminya. Air mata sudah tak bisa ia tahan dan jatuh begitu saja membasahi kedua pipi tirusnya. Dengan perlahan ia mendekatkan wajahnya.

"Asyhadu alla ilaha illallah,bisiknya di telinga sang ibu. Rasanya dunianya benar-benar hancur. Tak pernah terbayang olehnya akan berada di posisi ini.

"As-syhadu a-alla i-llaha ill-llah"

"Wa Asyhadu anna muhammadarrasulullah"

"Wa As-syhadu an-na Muhammadarrasulu-llah."

 Mata ibu melotot, nafasnya tercekat. Disusul dengan berhenti detak jantungnya. Yudhistira menatap wajah ibu lamat. Dengan tangan gemetar dia menutup mata indah itu.

“Innalilahi wainnailaihi roji'un.” Ia mencium kening sang ibu untuk yang terakhir kali. Wajah pucatnya nampak damai seolah sudah menunggu saat ini datang. Yudhi menangis terisak di samping jenazah wanita yang sangat dicintainya itu.

 
***

Bendera kuning tertancap di depan rumah Yudhistira. Para tetangga berdatangan untuk memberi belasungkawa kepada keluarga yang di tinggalkan.

Yudhistira tetap menjamu tamu dengan baik meski keadaannya terlihat memperihatinkan. Lingkaran hitam tercetak jelas di bawah matanya. Bibir pucatnya tersenyum untuk menutupi kesedihan. Meski hal itu terasa sia-sia, siapapun dapat melihat bagaimana kacaunya pemuda itu.

𝐋𝐞𝐧𝐭𝐞𝐫𝐚 𝟏𝟗𝟗𝟗 : Di balik jendela waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang