mengakhiri

16 10 2
                                    

Kini, aku sekolah diantar dan jemput oleh Bang Irsyad karena Ayah belum memperbolehkanku naik mobil atau motor karena kakiku masih sakit akibat terjatuh beberapa hari yang lalu. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya dijemput juga.

Setibanya di rumah, aku ingin segera merebahkan tubuh karena rasa lelah yang begitu mendera. Namun, ketika aku sudah siap beristirahat, Sinta datang ke rumah.

Ketika kutanya mengapa tidak mengirim pesan terlebih dahulu, ia hanya menjawab takut orang lain mengetahui permasalahannya.

“Tante, Om, apakah Sinta boleh menginap beberapa hari di sini?” Ketika mereka mengiyakan, aku segera mengajak Sinta ke kamarku.

Kami melepas lelah bersama dan tidak sadar tertidur. Jam 16.00 kami segera mandi dan salat. Tak lupa aku meminta izin kepada Bang Irsyad untuk mengatarkan kami ke rumah Maya.

Di mobil, aku duduk di bangku belakang bersama Putri. Sedangkan Bang Irsyad ditemani oleh Bang Gilang karena takut menjadi orang paok, atau tidak punya teman.

“Aku perhatikan, kayaknya kamu lagi jatuh cinta, ya?” semua mata pun tertuju padaku.

“Zahra jatuh cinta sama siapa?” tanya Bang Irsyad penasaran.

“Sama Pak Afan, Bang.”

“Hoax, Bang. Nggak usah dipercaya.” Aku yang mengenal karakter Bang Irsyad mendadak panik. Pemuda itu mudah sekali overthinking karena takut adeknya salah mencintai seseorang dan berujung sakit hati.

Aku dan Sinta terlibat percekcokan. Bang Gilang hanya tertawa dan geleng-geleng kepala. Bang Irsyad? Jangan ditanya lagi, ia hanya fokus menyetir.

Tidak lama kemudian, kami tiba di rumah Maya. Kami dipersilahkan masuk oleh ibunya. Namun, Bang Irsyad dan Bang Gilang memilih untuk duduk di depan. Akhirnya aku dan Sinta yang masuk.

Setelah puas mengobrol dengan Maya, kami pun pamit. Rencanaku selanjutnya adalah memanfaatkan keberadaan Bang Irsyad dengan mengajaknya jalan-jalan. Kapan lagi hal ini akan terulang jika tidak dipergunakan dengan baik?

Ketika sedang asik mengobrol, tiba-tiba Sinta menangis dan berlari ke toilet. Aku langsung mengejarnya dan meninggalkan Bang Gilang yang tampak kebingungan.

“Masalah keluarga katanya,” jawab Bang Irsyad singkat.

“Siapa yang tidak menangis ketika keluarganya sedang diuji? Hati siapa yang kuasa menahan sakit jika ketika masuk rumah bagaikan orang asing yang salah masuk istana?”

Sinta menjatuhkan dirinya di lantai kamar mandi. Hatiku begitu teriris. Sebegitu sakitnya luka yang diberikan oleh ibu tirinya.

“Mengapa Allah tidak mengajakku pergi bersamanya?” aku begitu terkejut kala ia mengatakan hal itu. sebegitu putus asakah ia?

“Sinta, kehidupan ini memang terasa sulit bagimu. Lihat, pipimu sudah bukan karena air hujan, melainkan air mata. Matamu terlihat memerah bukan karena ada serangga masuk, tetapi karena meratapi nasib yang tinggal bersama ibu tiri ketika ayahmu mendapat tugas di luar kota.”

“Namun, ingatlah, bukan berarti ayahmu tak sayang padamu. Ia sangat menyayangimu. Dengerin aku, kehidupan ini berjalan dengan seimbang, ada suka dan dukanya.”

“Mereka yang sukses dunia, belum tentu sukses di akhirat, pun sebaliknya. Mereka pasti akan tersadar kelak, bahagia sejatinya bukan dikejar, tetapi ketika seseorang bermanfaat untuk orang lain.”

“Jika ibumu hanya menjadikanmu seorang budak di rumahmu, jangan ambil hati, ambillah parang dan tebas lehernya,” ucapku serius, Sinta langsung menatapku tajam.

“Beristighfar maksudku. Sebab, kita tidak tahu kesulitan atau kebahagiaan mana yang mampu mengguncangkan hati. Asal jangan sampai menggugurkan keimanan, ya.”

The Power Of Hijrah {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang