belajarlah menerima keadaan

13 8 2
                                    

Malam ini aku standby di kamar bersama Sinta. Namun, aku heran kenapa Sinta sedari tadi tidak keluar dari kamar mandi. Apakah ia tertidur di sana? Aku pun mengetuk pintunya dan terdengarlah suara dari dalam.

Sinta keluar dari kamar mandi dengan mata muka merah, kelopak mata menghitam dan warna mata memerah. Aku panik dan bertanya mengapa ini terjadi. Ia hanya menjawab, ia sedang ada masalah keluarga.

Sinta kembali bercerita. Kali ini tentang ayahnya. Sinta baru saja dimarahi habis-habisan. Untuk permasalahan keluarga, aku pun tidak berani untuk ikut campur. Aku hanya mengajaknya untuk mengobrol dari hati ke hati saja.

Di tengah obrolan itu Sinta menyampaikan keinginannya untuk segera mengakhiri semuanya. Awalnya aku belum bisa menangkap maksudnya. Namun, setelah aku menyadarinya, aku segera menegurnya dengan perlahan.

“Astaghfirullah, jangan ngomong begitu. Aku memang tidak tahu permasalahan dalam kelaurgamu, tetapi aku tidak ingin kamu melakukan hal yang amat Allah benci.”

“Jika Allah memberikan pilihan antara hidup dan mati, aku lebih memilih mati, Zahra. Aku capek.”

“Sinta, apa gunanya kamu marah atas perilaku mereka? Kamu hanya perlu terus berusaha percaya pada hatimu bahwa apa yang kamu lakukan sudah benar meski mereka tidak setuju.

Setiap keruh akan berubah jernih jika disiram jernih terus menerus hingga tiada tempat untuk keruh tersebut. Artinya, setiap keburukan akan tergantikan dengan kebaikan.

Tiada kepastian dala hidup kecuali kematian. Kitalah yang memilih dan menentukan perjalanan itu walau kadang tidak sepenuh adalah keinginan kita.”

“Terima kasih nasihatnya, Zahra,” ucap Sinta sambil menangis.

“Iya. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Lihat, mata kamu udah merah kayak darah.”

Setelah Sinta terlihat lebih tenang, aku memintanya untuk segera beristirahat. Namun, isak tangis itu kembali terdengar. Saat aku membuka mata, aku melihat Sinta menangis di bawah ranjangku.

“Kenapa menangis lagi, hmmm?”

“Aku capek, Zahra.”

“Baru tadi aku bilang begitu, sekarang kamu bilang c apek? Bosen?” Sinta hanya berdeham.

“Jika kamu terus berjuang untuk masa depan dan kehormatanmu, tidak akan timbul keluh kesah dan sesal. Apa pun yang terjadi dalam hidupmu, tetaplah berjuang sampai akhir, sampai kamu bisa melupakan penderitaan yang sedang kamu alami dan ujung dari semua kelelahan ini adalah masih ada Allah.”

“It’s so long, Zahra.”

“Akan ada saatnya kamu ingin menyendiri, menarik diri dari pahitnya kehidupan ini. Bukan karena kamu berputus asa, kamu hanya lelah dan ingin beristirahat sejenak.

Semua hal yang kamu hadapi terlalu rumit. Pikiranmu berkata ingin mengakhiri, tetapi hatimu masih mencoba untuk bertahan. Kamu kehilangan arah. Kehilangan tempat yang selama ini kamu sebut rumah.

Ingat Sinta, beginilah kehidupan. Tidak semua berjalan sesuai dengan keinginan kita. Tidak akan pernah kamu pahami seberapa keras hatimu berperang untuk memenangkan pertempuran atas pikiran-pikiran buruk yang berusaha untuk menghancurkanmu.

Dan seiring berjalannya waktu, kamu pun terjatuh pada lembah kekecewaan. Namun, jika hal itu tidak terjadi, mungkin kamu tidak akan mengenal siapa Allah. Tidak akan kamu menemukan-Nya kecuali kamu telah menyelami sujud-sujud panjangmu.”

“Zahra, terima kasih untuk semuanya.”

***

Kami berjuang bangun dan melawan rasa malas karena tidur terlalu larut. Bang Irsyad pun sudah menunggu sejak jam enam.

The Power Of Hijrah {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang