ada apa ini?

21 12 2
                                    

Jalanan sore itu tampak lengang. Aku segera melangkah ke halte di seberang jalan. Ketika sudah di halte, aku baru menyadari hpku terjatuh di tengah jalan. Aku pun yang berusaha menyelamatkannya kalah cepat dengan sebuah mobil sedan hitam yang lewat.

Mobil itu melindas hpku. Aku segera menyelamatkannya setelah mobil itu berlalu. Aku menangis karena bingung. Hpku rusak. Aku tidak bisa menghubungi keluargaku. Di tengah rasa kalut yang menyelimuti, seseorang duduk di sebelahku.

“Kenapa nangis?” Sebuah suara yang tidak asing menyapaku.

“Nggak apa-apa,” ucapku tanpa melihat wajahnya.

“Kok nggak pulang? Udah mau Magrib nih.”

“Bisa nggak sih kamu jangan nanya terus?” jawabku penuh emosi.

“Kan aku hanya tanya.”

“Eh, Bapak. Maaf saya kira tadi siapa?” ucapku ketika melihat wajahnya.

“Iya, nggak apa-apa. Nunggu siapa di sini?”

“Nunggu jemputan, Pak.”

“Oh, tapi kok lama? 10 menit lagi sudah mau Magrib, saya antar saja, ya,” ucapnya menawarkan tumpangan.

“Nggak usah, Pak. Terima kasih.”

“Perempuan nggak baik di luar rumah sampai malam. Bahaya. Ayo, saya antar.” Aku pun membenarkan ucapan Pak Afan,

“Baik, Pak.”

Di perjalanan pulang aku meminta Pak Afan untuk berhenti di sebuah warung. Aku membeli dua bungkus nasi dan air mineral.

“Kamu puasa?” Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.

***

Sesampainya di rumah, aku mengucapkan terima kasih pada Pak Afan.

“Saya nggak ditawarin masuk?” tanyanya ketika aku sudah berbalik badan.

turun

“Bapak mau singgah? Silakan.” Pak Afan mengekori langkahku.

“Assalamu’alaikum, Ayah, Ibu,” teriakku yang seketika mendapat teguran dari Pak Afan agar tidak berteriak ketika mengucapkan salam.

Tidak lama kemudian terdengar sahutan dari Ayah, “Iya, Kak.”

“Kak, ini siapa?” tanya Ibuku heran.

“Oh iya, kenalin, calon suami,” ucapku yang seketika membuat Bang Irsyad terkejut dan segera turun.

Aku pun terkejut karena Bang Irsyad tiba-tiba sudah berada di sebelahku. Bang Irsyad adalah sepupuku dari garis ibu. Pak Afan pun tak kalah terkejut melihat sifatku yang jauh berbeda jika dibandingkan ketika berada di sekolah.

.    “Apa bener, Nak?” tanya Ayah pada Pak Afan.

“Iya, Yah,” cerocosku.

“Kamu sehat, Dek?” Bang Irsyad menempelkan tanganya di dahiku.

“Nggak usah lasak dong. Aku sehat Abang ganteng.”

“Aku nggak setuju.”

“Kakak sekolah aja belum tamat, masa sudah mau nikah?” ucap Ibuku.

Aku pun tertawa karena berhasil mengerjai mereka. Ayah langsung menyentil keningku.

“Kamu siapa?” tanya Bang Irsyad pada Pak Afan.

“Saya Afan, guru matematikanya Zahra. Tadi saya melihat Zahra duduk sendirian menunggu jemputan dan saya menawarkan padanya untuk pulang bersama.

“Terima kasih Nak Afan sudah mengantarkan Zahra pulang,” ucap Ibuku.

The Power Of Hijrah {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang