Pada kenyataannya, Devan tidak benar-benar "berani" berhadapan dengan Anne. Seperti sekarang, Devan sedang duduk di sofa ruang tengah lantai 2. Memakan kupasan buah sembari menonton tayangan televisi. Atensinya teralihkan saat tampak olehnya Anne keluar dari kamar Devina. Wajah gadis itu merah dan rambutnya acak-acakan.
Anne diam sejenak di depan pintu kamar, memandangi Devan selama sekian detik. Sebelum akhirnya, gadis itu bersuara.
"Devan, boleh aku duduk di situ?" tanyanya dengan suara serak, sambil menunjuk ke spot kosong di sofa—sebelah Devan.
"Hm? I-iya." Devan menjawab dengan gelagapan. Entah apa yang membuatnya mendadak gugup hanya karena satu kalimat terucap dari Anne. Padahal dalam kondisi "normal"—Devan sendiri yang menganggap sekarang bukan kondisi normal—ia tinggal mengangguk saja.
Anne pun mendekat ke arah Devan. Merebahkan tubuh di sofa, tepat di sebelah Devan. Kepala gadis itu tersandar ke pundak Devan, membuat Devan makin gelagapan. Devan hanya mematung.
"Devan ..." panggil Anne, masih dengan suaranya yang serak dan sengau.
"Ya, An?" Devan mencoba bersikap setenang mungkin. Menanamkan mindset dalam benaknya, bahwa tidak ada yang harus ia khawatirkan. Tetaplah menjadi Devan sebagaimana biasanya, dan dengarkan Anne, bantu gadis itu apa pun yang dibutuhkannya.
"Devan ..." panggil Anne lagi.
"Iya, An? Kenapa?"
"Devan ..."
"Aku di sini ..."
"Devan ..."
Anne hanya terus saja memanggil nama Devan, membuat laki-laki itu tidak bisa menebak apa yang sebenarnya ingin dikatakan Anne. Mereka masih dalam posisi Anne yang menyandarkan kepala di pundak Devan, sedangkan Devan tegak menghadap ke depan.
"Devan, aku capek ..." ujar Anne lirih.
Hening sepersekian detik.
Devan mengubah posisi duduknya hingga menghadap Anne. Dilihatnya gadis itu yang ternyata sudah berlinang air mata. Refleks Devan merengkuh tubuh Anne ke pelukannya. Mengusap punggung gadis—yang naik turun—dengan lembut. Anne sesenggukan tanpa suara, membenamkan kepala sepenuhnya dalam dekapan Devan.
Ini yang Anne butuhkan. Anne butuh Devan. Anne butuh pelukan Devan yang seolah memiliki sihir untuk menguatkannya. Anne butuh Devan yang ada bersamanya, sebagai wujud bahwa Anne masih mempunyai seseorang yang bisa ia jadikan sandaran di hidupnya. Di kala Tuhan mengujinya hingga sejatuh-jatuhnya, di sisi lain, Tuhan masih mengirimkan Devan untuk menenangkannya.
Anne butuh Devan.
Devan tidak bicara apa pun. Ia tahu Anne tidak butuh kata-kata darinya, untuk saat ini. Yang bisa ia lakukan hanyalah meminjamkan bahunya untuk Anne bersandar, dan memberikan pelukan untuk menghangatkan. Devan ingin Anne tahu bahwa ia ada di sana, untuk Anne seorang. Bahwa sekalipun dunia menjungkirbalikkan kehidupan Anne, Devan akan selalu jadi orang pertama yang menenangkan Anne.
Setidaknya itu harapan Devan. Semoga selalu begitu.
Cukup lama Anne menghabiskan sisa air matanya yang membanjiri sweater Devan, sementara Devan menepuk pelan punggung gadis itu. Setelah lebih tenang, Anne menarik wajahnya dan memandangi Devan lekat-lekat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Sebuah Pagi (Slow Update)
Random"Setiap malam, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu kembali denganmu esok pagi." Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih bagi seorang Devan yang memiliki bom waktu dalam tubuhnya, yang dapat meledak k...