"Mama paham betul aku benci bohong maupun dibohongi."
Devan merasakan sesuatu yang mengganggu begitu Ratna menunjukkan arah jalan ke tempat yang hendak dituju.
"Mama nggak bohong. Memang benar, mau bertemu kawan lama."
"Ya tapi nggak harus ke sini juga, kan!"
Devan menepikan mobil mendadak, kemudian mengeremnya tiba-tiba hingga terhenti.
"Devan, tolong kali ini aja turuti Mama tanpa protes."
"Aku nggak protes, Ma ... tapi Mama tau sendiri aku nggak suka begini. Kan Mama udah janji juga nggak akan suruh aku ke sini, kecuali buat check up. Kenapa sekarang malah nipu gini?"
Devan membuang muka, berusaha menghindari tatapan mata Ratna yang menyelidik.
Mereka berhenti tepat di depan gerbang sebuah bangunan besar. Bangunan yang cukup memberi Devan "trauma". Bangunan yang sangat amat tidak ingin Devan kunjungi.
Namun, Ratna malah mengajaknya kemari tanpa urusan rutin bulanan mereka, dengan dalih bertemu kawan lama atau apalah. Devan membuang napas kesal.
"Kawan lama Mama baru datang dari luar kota. Dia akan kenalin kamu sama orang hebat. Dia yang sudah memberikan harapan besar buat Mama. Jadi, Mama tolong. Kali ini saja kamu dengarkan Mama. Lakukan apa yang Mama pinta tanpa protes. Ya?" Ratna mengelus pundak Devan.
Baiklah, Devan mengaku kalah. Bagaimanapun modelnya, dia tidak akan pernah bisa benar-benar melawan Ratna.
"Maaf, Ma. Devan salah. Devan kasar sama Mama."
Ratna hanya tersenyum menyaksikan putranya yang memasang wajah manusia paling menyesal di muka bumi.
"Mama melakukan ini untuk kamu. Mama sayang Devan."
Devan melajukan kembali mobil yang dikendarainya. Ia menarik napas, mencoba menenangkan diri ketika roda mobil bergulir memasuki gerbang utama bangunan besar itu.
⛦
Devan termenung di bangku tunggu. Ia masih tidak terima sang mama akan "menipu"-nya seperti ini.
Ya memang, secara harfiah Ratna tidak benar-benar menipu Devan. Ratna berkata bahwa Devan harus mengantarkannya bertemu kawan lama. Namun, siapa duga jika "kawan lama" yang dimaksud Ratna adalah Dokter Wijaya. Terakhir mereka bertemu adalah di puncak ketika liburan beberapa pekan lalu. Saat itu pun Ratna juga "menipu" Devan agar si anak rela hati bertemu Dokter Wijaya.
Devan bukannya tidak suka kepada Dokter Wijaya. Bahkan sejujurnya, Dokter Wijaya merupakan salah satu dari daftar orang yang hendak diberikan nobel mandiri oleh Devan. Dari dalam hatinya, Devan sangat menghormati Dokter Wijaya.
Dokter itu telah berjasa dalam tujuh belas tahun hidupnya. Ibarat Tuhan bekerja melalui tangan-tangan Dokter Wijaya untuk memberikan kehidupan bagi Devan.
Namun, Devan sangat tidak suka ketika bertemu dokter itu. Bagi Devan, setiap detik ia berhadapan dengan sang dokter sama halnya sedang bertarung melawan ketakutannya sendiri. Devan terlalu takut dengan berita yang dikabarkan Dokter Wijaya. Ia terbayang dengan perasaan was-was di setiap bulannya saat ia harus menanti kabar, apakah satu organ tubuhnya itu masih berfungsi dengan baik atau tidak. Devan benci perasaan itu.
Apalah daya. Devan harus melawan ketakutannya sendiri. Membiarkan perbincangan antara sang mama dengan Dokter Wijaya mengalir sebagaimana adanya, dan tentunya masih dengan topik utama rencana pengobatan Devan ke depan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Sebuah Pagi (Slow Update)
Random"Setiap malam, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu kembali denganmu esok pagi." Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih bagi seorang Devan yang memiliki bom waktu dalam tubuhnya, yang dapat meledak k...