Anne tiba di rumah Devan, namun tidak mendapati seorang pun di sana. Ia mengecek ponsel, memastikan apakah ada pesan dari Devan atau Ratna. Dan benar.
Anne sayang, Devan lagi antar Tante ke tempat teman. Kamu kalau udah pulang kabari ya, sepertinya Tante bakal pulang malam. Kunci ada di bawah pot biasa.
Ahh ... Anne menyesal tidak membuka pesan mama Devan lebih awal. Segera dibalasnya pesan tersebut.Anne baru sampai rumah, Tante. Ini mau masuk. Makasih.
Usai mengirimkan balasan, Anne buru-buru mencari kunci rumah di tempat sesuai petunjuk mama Devan.Tak butuh waktu lama bagi Anne menemukan kunci tersebut. Ini bukan pertama kali Anne datang ke rumah Devan tanpa siapa pun di dalamnya. Anne merasa inilah rumah keduanya—atau bahkan rumah sesungguhnya dalam definisi lain—ia menghabiskan lebih banyak waktu di rumah ini alih-alih rumahnya sendiri.
Begitu memasuki rumah, Anne merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Mencoba menikmati setiap detik yang ia habiskan di sana.
Ruangan ini ibarat base camp masa kecilnya bersama Devan. Dari kecil hingga kini, mereka adalah tipe anak rumahan yang tidak banyak menghabiskan waktu di luar, kecuali tempat makan atau coffee shop atau tempat berkepentingan lainnya.
Satu per satu memori masa lalu berkelebat di benak Anne, menyajikan keping-keping kenangan yang menciptakan perasaan rindu.
Anne kenal Devan pertama kali saat mereka berdua berusia 6 tahun. Papa kandung Anne, Aidan, dan Ayah Devan adalah sahabat sejak bangku sekolah. Di awal perjumpaan mereka, Anne takut pada Devan. Apalagi ketika mereka berbincang satu sama lain, sorot tajam Devan selalu tertuju tepat pada manik cokelat terang gadis itu. Anne pun merasa terintimidasi karenanya.
Namun, seiring berjalan waktu, mereka berhasil mengakrabkan diri. Anne sejak kecil mempunyai fisik yang lemah, pun ia memiliki asma sehingga tidak bisa terlalu banyak aktivitas sebagaimana anak lain. Devanlah yang selalu menemani Anne. Saat Anne sakit, saat Anne sendirian, saat Anne menangis karena permasalahan kedua orang tuanya, Devan selalu bersamanya. Rumah ini adalah salah satu tempat yang menjadi saksi kenangan masa lalu mereka.
Kenangan itu terus bergulir, hingga tanpa sadar Anne terlarut di dalamnya. Gadis itu memejamkan mata dan berlanjut mengarungi alam mimpi.
Anne baru terbangun kembali ketika mendapati dirinya telah berada di ranjang kamar Devi. Ia meraba sekitar, mencari keberadaan ponsel. Ia berhasil mengambil benda itu yang tergeletak tidak jauh darinya.
Pukul 03.00 dini hari.
Ada beberapa pesan yang memaksa Anne mau tidak mau ingin membacanya. 4 pesan dari Ratna, 1 lagi dari Devan, lainnya hanyalah chat dari rentetan grup yang tidak terlalu penting menurut Anne.
4 pesan dari Ratna berisi pertanyaan serupa: sudah makan? Makan apa? Sudah mandi? Kalau capek silakan tidur lebih dulu.
Kurang lebih intinya seperti itu. Terakhir diterima sekitar pukul 9. Sedang satu pesan dari Devan baru diterima pukul setengah 3 tadi.
Anne.
Hanya pesan yang sangat singkat. Anne mengernyitkan dahi. Mencoba memahami maksud Devan mengirimnya pesan demikian di waktu dini hari.Hanya ada dua kemungkinan jika Devan mengirim pesan serupa itu: satu, Devan sedang iseng; atau dua, Devan sedang dalam suasana hati tidak baik.
Devan, kamu udah tidur?

KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Sebuah Pagi (Slow Update)
Random"Setiap malam, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu kembali denganmu esok pagi." Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih bagi seorang Devan yang memiliki bom waktu dalam tubuhnya, yang dapat meledak k...