Leon menyusuri halaman rumah sakit dengan membawa permen kapas. Beberapa hari ini ia selalu membawa permen kapas saat mengunjungi tempat kerja kakaknya. Bukan karena ingin memakannya, tapi sekadar membantu sang penjual mendapatkan rezeki.
Laki-laki itu pun menjadi objek pemandangan sangat memukau bagi anak-anak kecil di taman depan rumah sakit. Mereka memperhatikan Leon—atau sebenarnya memperhatikan permen kapas pink yang dibawa Leon?
Seorang gadis cilik dengan rambut dikucir dua dan berpiyama pasien menghampiri Leon. Dia berhenti tepat di depan Leon seolah menilang laki-laki itu agar tidak berjalan lagi. Leon berhenti.
"Kamu mau ini?" tanya Leon yang dijawab dengan anggukan oleh si bocah.
"Dia dalam masa diet, Leon. Jangan kasih makanan manis."
Si bocah mendengus melihat siapa yang datang. Ia membuang muka, lantas berlari menjauh dari Leon yang masih membawa permen kapasnya. Sosok laki-laki tinggi mengenakan jas snelli putih mendatangi Leon dengan senyuman.
"Udah lama sampainya? Kenapa nggak baca pesan Kakak, sih? Padahal mau titip beliin sesuatu."
"Baru aja sampai, Kak. Nggak sempet buka HP. Tadi jalan lagi dari rumah, capek tau. Masih tega suruh mampir beliin ini itu?"
"Jalan lagi? Wehhe! Udah mulai belajar jadi orang Finland nih, rela jalan kaki 3 kilo."
"Kak, ngelawak? Nggak lucu serius."
"Yee masa gitu doang ngambek? Inget usia, udah gede masih ngambekan!"
Leon melengos. Kevin, kakak laki-lakinya ini memang selalu saja mengoloknya, dan Leon tidak suka itu. Mereka berdua terpaut usia 10 tahun. Namun, bagi Leon, tingkah laku Kevin kadang kala lebih bocah darinya.
"Kak, Ayah mampir ke sini?"
"Ngobrol di ruangan Kakak aja yuk biar lebih santai. Sambil makan camilanmu itu. Bisa-bisanya beli ginian. Gulanya tinggi tau."
"Iya, tau."
"Haha, dih awas ngambek lagi!"
Leon membuntuti kakak laki-lakinya itu. Sepanjang koridor rumah sakit yang mereka lalui, hampir setiap orang mengenal Kevin. Tersenyum, menyapa, memberi salam, tampaknya Kevin telah menjadi artis di rumah sakit ini. Mereka berhenti di sebuah ruangan di ujung koridor bangsal khusus penyakit jantung.
Kevin Anumerta Wijaya, kakak Leon, adalah seorang dokter yang telah menjadi spesialis jantung pada usia muda. Bahkan Kevin menjadi satu dari sedikit dokter yang mendapat gelar istimewa FICS (Fellow of the International College of Surgeon) sebelum berkepala tiga. Tampaknya memang Kevin yang terlampau genius, mengingat ia masuk sekolah lebih awal dan itu pun akselerasi. Sungguh definisi sosok yang membuat anak tetangga membencinya karena selalu akan jadi objek perbandingan.
Sejak lulus dari almamaternya di sebuah kampus terkemuka, Kevin bekerja di rumah sakit internasional di Jakarta. Hingga beberapa pekan lalu, ia dipindahkan ke kota ini tanpa Leon ketahui alasannya. Yang pasti apa pun itu, Leon yakin ayahnya-lah yang memutuskan.
Jika menurut pengamatan Leon, Kevin dipindahkan ke sini agar lebih bisa disiapkan menjadi penerus "tahta" sang ayah. Kakak laki-lakinya itu adalah kebanggaan keluarga. Sosok yang telah banyak mencetak prestasi sejak muda. Tampan, cerdas, beretika santun, dan segala hal baik lain yang semakin membuat Leon merasa bukan apa-apa.
Ya, kakak Leon memang sehebat itu. Leon benci mengakuinya, tapi dia sepakat Kevin memang hebat. Leon tidak benci Kevin. Hanya saja, pada satu dua titik, Leon benci dengan kesempurnaan Kevin yang membuat orang tua Leon menuntut hal serupa darinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Sebuah Pagi (Slow Update)
Random"Setiap malam, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu kembali denganmu esok pagi." Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih bagi seorang Devan yang memiliki bom waktu dalam tubuhnya, yang dapat meledak k...