Sudah lebih dari empat tahun, bukan waktu yang sebentar untuk sebuah kesabaran. Bukan masalah diminta siapa dan untuk siapa, tapi yang dilakukan Moa berasal dari dorongan hatinya sendiri, menunggu sang pujaan hati.
Pria tampan itu masih dengan dengan rutinitas setiap tahunnya. Berdiri diam menatap pantulan sinar senja pada riak angin pantai. Harusnya dia di sana bersama sang kekasih hati, saling bersandar dengan jemari yang bertaut erat menghitung mundur mengantar matahari meninggalkan singgasana nya.
Angin yang kian kencang tak menyurutkan niatnya untuk tetap bertahan, dalam hati dia berharap agar sang pujaan hati datang dengan wajah kesalnya, bibir yang terus mengomel karena saat ini dia lupa tak membawa jaketnya.
Ah, mengingatnya setiap detik membuat dadanya sakit. Perasaan rindu itu menggerogoti hingga sanubari. Menusuk sampai jantung hati. Katakan lah perumpamaan ini berlebihan, tapi tak ada yang mampu mewakili kerinduannya pada pujaan hati yang namanya selalu tersimpan rapi.
"Dee? Apa kau akan datang? Apa kau tetap membiarkanku menunggumu seperti tiga tahun sebelumnya?" Bisiknya lirih pada angin, berharap angin bisa membawa pesannya pada yang ditunggu.
Desa biasa dipanggil Dee, gadis manis dengan senyum yang menawan, pipi yang lembut sekali sering menjadi sasaran keisengan Moa.
"Apa kau masih marah?" bisiknya lirih pada angin yang menerpa lembut wajah sayunya.
Terakhir kali mereka bertemu, Moa membuat miliknya menangis hingga memukul dadanya. Dan jahatnya dia tak bisa berbuat apa-apa, hanya terdiam melihat Dee meraung dalam kesunyian malam.
"Jika waktu bisa diputar, aku tak akan sekalipun melepaskan tanganmu Dee, tapi apa sekarang aku masih pantas membawa kaya seandainya untuk kisah kita? Rasanya begitu malu, tapi rindu ini semakin mencekik, aku tak bisa Dee, aku merindukanmu sampai rasanya ingin mati."
Angin yang menerpa tubuhnya juga tak ingin kalah, seperti memusuhinya, menyiksanya dengan hawa dinginnya hingga kini tubuhnya bergetar, giginya menggeletuk.
"Datanglah sekali saja Dee, aku ingin berbicara banyak hal denganmu, impian kita yang tertunda, hubungan kita yang kandas, dan penghianatanku... Aku ingin minta maaf untuk itu."Matanya terpejam, matahari hampir hilang dari peradaban, tapi rasa rindunya tak berkurang sama sekali. Harus bagaimana lagi dia? Harus sehancur apa lagi dia? Hidupnya berantakan karena rasa bersalah yang entah kapan berhentinya.
"Harusnya kau pulang, jangan menunggu seperti orang bodoh, jika kau ingin menunggu sampai hari gelap,setidaknya kau gunakan baju yang hangat jika tak ingin mati."
Moa spontan membalikan badannya saat mendengar rentetan kalimat dengan suara yang familiar.
"Dee?"
"Hai."
Senyum itu.. jantung sialan yang tak memberontak seakan ingin keluar saat itu juga, jutaan kembang api bergejolak di dadanya, apa penantiannya sudah di ujung?
KAMU SEDANG MEMBACA
ONESHOOT STORY AEDREAM
FanfictionKumpulan oneshoot haeselle, jenrina, jaeminjeong, renning