RUMAH-JENRINA

270 17 3
                                    


Kalau boleh jujur Kayin ingin menutup telinganya dan pergi ke kamar untuk beristirahat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau boleh jujur Kayin ingin menutup telinganya dan pergi ke kamar untuk beristirahat. Tapi niatnya tak bisa terlaksana saat omelan mertuanya menjadi musik pengiring kegiatannya sekarang.

"Kamu itu sudah jadi seorang istri sekaligus seorang ibu, seharusnya tau apa tugas kamu di rumah. Mencuci, memasak, ngurus anak. Masa semua harus di ajari lagi?"

Sudah kesekian kali mertuanya mengomel tiada henti. Segera dia menyelesaikan mencuci piring bekas makan siangnya, ingin rasanya membalas semua perkataan tapi tenaganya seolah habis walau hanya untuk mengucapkan satu kata.

"Anak kalau sudah tidur mainannya di rapikan lagi, berserakan kaya kapal pecah! Punya menantu sama seperti tidak punya menantu."

"Ma!"

Cukup! Mertuanya sudah sangat kelewatan. Dia menikah dengan anak mertuanya, bukan dengan mertuanya, mengapa selalu ikut campur dengan kehidupan rumah tangganya.

"Apa? Mau alasan capek karena kerja? Tidak ada yang menyuruhmu bekerja setelah menikah. Seorang istri harus di rumah untuk melayani suami, bukan malah bekerja untuk menghindari kewajiban!"

"Aku bekerja untuk membantu Mas Jevian! Aku bekerja setelah menikah juga sudah menjadi kesepakatan kami."

"Dan mengabaikan kewajibanmu?"

"Aku tidak mengabaikan kewajibanku, aku masih bisa membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan."

"Cukup Kayin! Uang suami kamu itu lebih dari cukup. Anakku bukan orang yang miskin, bahkan tujuh turunanmu pun anakku mampu untuk menghidupinya. Cukup di rumah dan urus keluarga!"

Kayin, wanita cantik  itu hanya menatap lelah punggung yang menghilang di balik pintu kamar putranya. Ingin berteriak dan menangis pun tidak bisa. Hanya sesak yang dia rasakan. Setelah menikah dengan Jevian dia memutuskan hidup ikut dengan suaminya dan jauh dari keluarganya. Dia berharap akan menjalani kehidupan rumah tangganya dengan tenang dan bahagia. Tapi semua itu hanya angan yang hanya mudah untuk di ucapkan.

Jevian memang orang yang berada, dia juga tak bermaksud untuk egois. Tapi semenjak melahirkan Jiano membuatnya stress jika tak melakukan kegiatan. Mengurus Jie hingga putra kesayangan mampu untuk berjalan dan kini dia bekerja, waktu mengurus Jie di atur dengan sang suami, sebisanya dia dan Jevian tidak ketinggalan perkembangan putra mereka.

Kayin memutuskan duduk dan merenungkan semuanya. Apa bekerja membuatnya sangat egois? Apa bekerja sangat salah? Apa Jevian menyesal menyesal menikahinya karena dia tak bisa berdiam di rumah sepertui istri pada umumnya?


Jarum terus berdenting, wanita itu hanya melamun menghabiskan waktunya. Bahkan mertuanya pulang pun tak diindahkannya. Biarlah di cap menantu tak tau diri, nyatanya sebaik apapun dia memperlakukan mertuanya, di mata mertuanya dia hanya menantu tidak berguna yang tak bisa memenuhi kewajiban menjadi seorang istri.

Kalau boleh jujur, jauh di dalam hatinya dia ingin memutar waktu dan memilih untuk tidak menikah sekalipun, mengingat banyak hal menyenagkan di luar sana yang harus di nikmati selagi belum menikah. Dulu dia sering kumpul dengan teman-temannya, memakai baju sesuka hatinya dan memesan segelas kopi, kini dia melihat penampilannya. Hanya celana pendek dan kaos oversize, mukanya pun tak terawat seperti dulu. Kantung mata yang terlihat sedikit menghitam, wajah nya pun mulai kusam. Apa Jevian akan meninggalkannya nanti?

"Sedang apa cantik? Aku panggil berkali-kali tak ada jawaban?"

Kayin terlonjak kaget saat di rasakan pelukan dari belakang. Nafasnya mendesah lega saat mendengar suara berat favorite nya.

"Maaf aku tidak menyambutmu."

"Tak apa, kau ada masalah?"

Wannita itu terdiam, Jevian tersenyum dan melepas dasinya. Melihat istrinya tyang terdiam membuatnya bingung.

"Kenapa hm?"

"Apa aku berhenti kerja aja mas?"

"Kenapa? Ada masalah di kerjaan?"

"Mama tadi ke sini."

Jevian menghela nafas beratnya, tanpa istrinya melanjutkan ceritanya, dia sudah tau arah pembicaraannya. Di genggamnya jemari sang istri dan mengecupnya berkali-kali.

"Kalau kamu nyaman dengan keadaan sekarang, lanjutkan sayang. Kalau kamu ingin berhenti tidak apa-apa asal itu dari hati mu sendiri bukan orang lain. Aku mendukung apapun keputusan kamu! Kamu menikah dan ikut dengan ku, jauh dari orang tua mu. Aku tidak memaksakan kehendak. Ini tubuh kamu, kamu yang tau kapan lelahnya, asal janji sama aku kalau kamu tidak akan sakit, aku tetap izinkan kamu kerja. Dan lagi kamu menikahi ku bukan menikahi Mama ku kan. Ini rumah tangga kita, bukan rumah tangga kamu sama mama."

"Kamu merasa tidak kalau aku tidak bisa menuhi kewajiban ku sebagai seorang istri?"

"Kewajiban apa lagi yang kamu belum penuhi. Masakankamu selalu menemani aku dan Jie saat lapar, lihat, baju yang aku kenakan ini hasil karya kamu waktu nyetrika, ya walau nyucinya pakai mesin cuci, tapi sama saja kamu melakukan yang terbaik. Lihat setiap sudut rumah kamu yang bersihkan. Kadang aku bingung, sekuat apa kamu, apa tidak capek?"

"Tapi kamu juga bantu urus rumah."

Tangkupan pada pipi gembil Kayin membuat si manis tanpa sadar menangis, dengan segera Jevian mengecup kedua pipi itu penuh kasih mencoba menenangkan sang istri yang sedang tak percaya diri sekarang.

"Menikah bukan cuma satu orang. Kita berdua sayang. Sebuah rumah tangga butuh dua tiang yang saling bekerja sama. Jadi kita berjuang berdua, jadi jangan berpikir aku sendiri yang berjuang ataupun sebaliknya. Aku mau tiang rumahku utuh Ren bukan rumah yang rawan roboh karena kehilangan satu tiang."

Kayin meledakan tangisnya. Di harinya yang berat dia merasa bersyukur karena memiliki tempat bersandar di penghujung harinya. Jevian mendekap tubuh mungil itu membiarkannya menangis sampai merasa lega.
Suara hujan senja sore membuat keduanya semakin mengeratkan pelukan. Menyalurkan sayang satu sama lain. Jevian tau dia tak bisa merubah mindset ibunya, dia tak ingin menyakiti hati keduanya, maka sebisanya dia berdiri di tengah-tengah. Setelah ini dia harus mengurus ibunya dan mencoba memberikan pengertian jika anaknya sudah menikah dan punya tanggung jawab besar. Anaknya punya rumahnya sendiri dan tak bisa orang lain keluar masuk sesuka hati.

----end---

ONESHOOT STORY AEDREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang