Mungkin atap sekolah sudah menjadi tempat favoritnya saat ini, pasalnya hanya tempat itulah yang membuat Kira nyaman.
Sekali lagi, Kira memandang ke bawah. Kali ini dia duduk dengan kedua kaki menjuntai ke bawah, berayun-ayun menikmati angin yang kencang.
Menyaksikan berbagai interaksi murid di bawah sana, ada yang pacaran, bermain bola dan voli, bermain badminton ada juga yang kejar-kejaran.
Dari kejauhan, entah kenapa dari sekian aktifitas murid di bawah. Kira justru lebih fokus pada dua orang yang duduk di depan perpustakaan yang jaraknya jauh dari tempat dirinya berada.
Kira bisa melihat dengan jelas apa yang sedang mereka lakukan, hanya membaca. Iya, sekedar membaca. Namun, ketenangan mereka dalam membaca buku tanpa terusik oleh hal lain justru sangat mengganggu Kira.
Sejujurnya dia tidak ingin mengakui apa yang dia rasakan saat melihat mereka, tapi.... mereka terlihat sangat cocok. Kira meremas roknya. Dia tidak suka dengan pemikirannya yang mengatakan mereka serasi.
Tidak. Mereka tidak cocok sama sekali. David hanya miliknya, untuknya dan hanya dirinyalah yang bisa mendapatkan David. Namun sebuah kenyataan menampar khayalannya tersebut. David juga membencinya, meski dia selalu bersikap baik padanya.
Namun, tak Kira pungkiri David memendam rasa benci itu. Laki-laki yang dulu menjadi pacarnya itu memang baik, sangat baik.
"Akhir-akhir ini kamu sering ke sini, ya."
Meski sudah tahu jika laki-laki gemulai itu akan datang, tapi tetap saja Kira terkejut. Gadis itu menjauh dari tepi, mengalihkan pandangan dari dia sejoli yang mesra di sana.
"Lu bawa bekel?"
Aray mengangkat dua aslinya menatap Kira, "kenapa? Aku gak bawa hari ini, tapi aku beli roti."
"Gue minta, gue belum sempet makan."
"Aku beli dua tadinya buat diriku sendiri, tapi....ya udah deh. Ini." Aray menyerahkan sebungkus roti rasa strawberry pada Kira.
Melihat tulisan strawberry di kemasan roti, Kira menatap Aray lagi. "Gue gak suka rasa itu, ada rasa cokelat?"
Aray menggeleng, "kalo gak mau ya udah." Aray menarik kembali roti yang dia sodorkan di depan Kira. "Ini rasa kesukaanku."
Sementara Kira yang benar-benar tidak menyukai roti rasa strawberry, apapun jenis rotinya, tidak lagi tertarik meminta pada Aray. Dia memilih kembali ke tepi untuk duduk sambil menikmati pemandangan dari atas, entah sejak kapan, tapi Kira mulai suka dengan kebiasaan barunya.
Kini dua objek yang membuat dada Kira panas telah pergi, entah kemana mereka. Kira cukup lama memandang ke bawah sampai sebuah suara terdengar.
"Aku mau turun, kamu mau turun gak?"
"Ya kalo mau turun, tinggal turun sih!" Seperti biasa Kira selalu ketus.
Aray mencibir diam-diam, dia mengambil sampah bungkus roti, akan membuangnya di tempat sampah. "Kalo gitu aku pergi, ya."
Kira tidak membalas, dia tidak bergerak di tempat. Sampai beberapa menit setelah kepergian Aray, barulah gadis itu mulai bosan dan pergi dari atap sekolah.
***
Aray mengambil sepedanya yang ada di belakang sekolah, beruntung tidak ada yang rusak meskipun sepedanya berpindah tempat. Mungkin ada murid iseng yang bermain dengan sepeda.
Mengendarai sepedanya menuju kontrakan, Aray berhenti di warung angkringan untuk membeli beberapa tusuk. Rencananya dia akan makan dengan nasi untuk makan malam nanti.
Sampai di kontrakan, Aray menyimpan sepedanya dan dirinya masuk ke rumah. Ketika hendak mengecas ponsel, ponselnya berdering dan menampilkan nama bibinya.
"Halo, bi."
"Halo, uang kamu masih ada gak?"
"Tinggal dikit, bi. Bibi mau kirim?"
"Bibi cuma bisa kirim satu juta, di sini bibi lagi sulit. Kamu gak apa-apa'kan?"
"Kalo bibi adanya segitu, ya mau gimana lagi. Aku cuma bisa hemat, bi."
"Maaf ya, ray. Bibi gak bisa ngirim kaya biasa."
"Gak apa-apa, bi. Bibi kirim aja, aku udah bersyukur. Siapa lagi kalau bukan bibi yang kirim aku uang."
"Bulan depan bibi janji kirim lebih, kamu doain aja, ya. Sekarang bibi mau kirim uang. Bibi tutup teleponnya."
Panggilan terputus, Aray meletakan ponsel di meja sambil di cas. Lalu dirinya berganti pakaian.
Pintu diketuk oleh seseorang, Aray bisa mendengar suara wanita yang sangat dia kenal. Dengan perasaan tidak enak, dia membuka pintu.
"Aray, bayar kontrakan. Udah dua bulan kamu gak bayar."
"Maaf, bu. Aray hari ini gak bisa. Aray juga lagi kekurangan uang." Aray merasa tidak enak sebenarnya terus-menerus menunda pembayaran, dia tahu jika ibu kontrakan kesal padanya. Namun, Aray bisa apa. Dia hanya anak sekolah yang hanya mengandalkan hidup pada bibinya.
Si ibu kontrakan menghela nafas, sengaja atau tidak, Aray bisa mendengar wanita itu berdecak. "ya, udah. Tapi bulan depan haru bayar, ya." Si ibu kontrakan terdengar penuntut.
Aray hanya mengangguk sambil menatap si ibu kontrakan pergi dari depan rumahnya. Wanita tua yang hanya memakai daster dan sandal slop.
Menutup kembali pintu, Aray merasa pikirannya semakin berat tiap hari. Dia pusing harus memikirkan banyak hal. Dari mulai uang yang menipis, bayar kontrakan, bayar sekolah, makan sehari-hari, apalagi uang yang di kirim sang bibi hanya satu juta.
Sulit baginya menjadikan uang itu cukup. Setiap uang yang dia hendak keluarkan akan membuat beban tersendiri bagi Aray. Dia pusing, stres dengan hidupnya yang seperti ini.
***
Kira menatap ponselnya yang berdering terus-menerus, baru saja nomor sang kakak dia buka dari daftar block, rupanya kakaknya itu langsung menelponnya.
Dia tak sangka jika kakaknya sampai seperti ini, perempuan itu seperti seorang teror yang mengganggu dirinya tanpa henti. Mengirim pesan berkali-kali bahkan menelpon tanpa henti. Kira kini sadar seberapa menakutkannya kakaknya itu.
Panggilan berhenti dan beberapa menit seterunya tidak ada panggilan lagi. Mungkin kakaknya itu sudah menyerah. Kira melirik lagi ponsel hitam di sampingnya, ada niatan kecil dalam sudut hati Kira untuk melihat pesan-pesan yang di kirim kakaknya, tapi dirinya gengsi saat nanti kakaknya tahu kalau dia membaca pesannya.
Jadi Kira memilih beranjak dari kamar, berusaha menyibukkan diri dengan apapun. Seperti makan, menonton televisi dan menyiram tanaman yang pada kenyataannya sudah layu dan mati.
Pergi ke kamarnya lagi, karena merasa sangat bosan, dia bermain ponsel dan menjelajahi internet. Sejenak pikirannya terlupakan tentang keinginan melihat pesan dari sang kakak.
Sampai notifikasi pemberitahuan internet telah habis membuat bibirnya berdecak, Kira merenung cukup lama sambil menatap ponsel yang layarnya mati.
Sampai akhirnya jempolnya bergerak mengklik aplikasi WhatsApp, dan melihat pesan-pesan yang kakaknya kirimkan, ada pesan suara juga yang di kirim oleh kakaknya.
Kira mendengar sampai tampa sadar dirinya tersenyum. Geli karena suara kakaknya terdengar seperti diimut-imutkan, menirukan suara anak kecil.
"Apaan sih ini orang, gak jelas banget. Gak sadar umur tuh!" Kira menggumam kesal, tapi bibirnya terus saja tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis yang malang
Short StoryDi cerita lain, antagonis-lah yang di beri penglihatan jika hidupnya akan berakhir tragis. Namun, berbeda dengan kisah Kira. Semua orang justru menjauhi bahkan membencinya hanya karena sebuah ramalan mimpi. Perasaan kesepian seketika hadir dalam di...