Kira tidak bisa membendung tangisnya saat seorang pria, yang mengatasnamakan papanya, menyuruhnya masuk ke mobil dan mengantarkannya ke sebuah rumah.
Kira awalnya tak tahu rumah siapa itu, tapi ketika pria itu mengatakan jika dialah yang akan tinggal di sana. Rasa sedih yang menumpuk akhirnya pecah. Jadi ini yang papanya mau, mengusirnya. Lebih tepatnya membuangnya.
Kira melangkah ke teras rumah minimalis itu, duduk di kursi yang sudah ada di sana. Mengusap wajahnya dengan kedua tangan, Kira merasa lelah menangis hari ini. Menatap ke depan, pria yang mengantarnya masih ada di sana, diam seperti patung sambil memperhatikannya.
"Ada apa?" ketus Kira dengan suara sumbang.
"Saya belum bisa pergi kalau nona belum masuk ke dalam rumah."
Kira berdecak. "Pergi aja sana. Gue gak nyaman ada lu."
Pria berbadan cukup tinggi itu menggeleng, "tidak. Perintah adalah perintah."
Tidak mau amarahnya tersulut karena orang keras kepala di depannya, Kira beranjak dan masuk. Rupanya pintu rumah tidak terkunci, dia dengan mudah membukanya dan menutup pintunya secara kasar sebagai pelampiasan rasa kesalnya.
Kira menatap ruangan di depannya, ada sebuah sekat yang membatasi ruang tamu dan dapur. Di sebelah kiri, ada dua kamar kosong yang salah satunya sudah di isi kasur dan lemari.
"Bahkan papa udah nyiapin semuanya." Kira menatap kamar yang mungkin akan jadi tempatnya untuk beberapa hari ke depan. Karena merasa lelah, Kira berjalan ke kasur dan berbaring di atasnya.
Rasanya sangat nyaman. Kira tidak pernah merasa senyaman ini ketika tubuhnya berbaring di kasur, bahkan kasur ini tak seempuk kasur di kamarnya. Namun entah kenapa begitu nyaman rasanya. Mungkin karena hari ini Kira sangat lelah.
Sangat letih dengan semua kejadian yang tidak pernah dia pikir akan ada.
"Ramalan sialan," lirih Kira yang mulai terbawa kantuk.
***
Untuk pertama kalinya keluarga mereka sarapan tanpa kehadiran Kira, biasanya gadis itu yang selalu ribut dengan Faya dan membuat suasana meja makan bising.
Faya hanya mengaduk-aduk nasinya tanpa selera, tidak terbiasa dengan suasana hening di meja makan. Sementara, Dio dan Rea sudah menyuruh perempuan itu agar cepat melahap sarapannya.
"Kenapa Kira harus pisah sama kita, pa?"
Dio yang hendak menenggak segelas air menurunkan gelasnya kembali. "Kamu masih bertanya? Seharusnya kamu sudah tau, Faya."
"Tapi'kan gak ngusir Kira dari rumah juga. Kasihan dia, pa."
Dio berdecak, dia mengangkat kembali gelas berisi air dan meminumnya. "Kamu gak ngerti, nak. Keberadaan Kira itu mengancam kita."
Tidak terima dengan kalimat sang papa yang terkesan menyakitkan bagi sang adik, Faya menyentak sendok ke meja.
"Papa nganggep Kira itu ancaman! Dia itu anak papa!"
"FAYA!"
Seketika, nyali Faya yang berkobar menciut saat sang papa membentaknya seperti itu. Dia menunduk, menyadari dirinya telah salah.
Melihat Faya yang takut padanya, Dio mengendurkan wajah ketatnya. Dia menghela nafas kemudian menoleh pada Rea yang sedari tadi diam. Wanita itu juga menatapnya, tapi kemudian berpaling dan pergi dari meja makan.
Menarik nafas dalam, Dio menghembuskan secara perlahan. Dia tidak mau pagi harinya kacau karena hal sepele.
Faya memilih pergi menaiki uber dari pada harus satu mobil dengan papanya. Berkat bantuan sang mama, Faya bisa mengetahui keberadaan Kira.

KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis yang malang
Short StoryDi cerita lain, antagonis-lah yang di beri penglihatan jika hidupnya akan berakhir tragis. Namun, berbeda dengan kisah Kira. Semua orang justru menjauhi bahkan membencinya hanya karena sebuah ramalan mimpi. Perasaan kesepian seketika hadir dalam di...