Dua

123 18 0
                                    

*****

               Di antara ramainya jalanan, Jun menuntunku menuju perpustakaan kota yang jaraknya hanya beberapa meter saja dari kampus kami.

Gadis cantik berambut pendek itu memang suka membuat rencana mendadak seperti ini. Padahal, tadi aku sudah memutuskan untuk pulang lebih awal karena ingin istirahat di rumah dan mendengarkan lagu kesukaanku.

Tapi, di sini lah aku sekarang. Tengah menunggu lampu lalulintas agar bisa menyebrang menuju perpustakaan kota yang sudah di depan mata.

Jun bilang, ia tengah memerlukan beberapa buku untuk membantunya menulis dan oh ya, aku hampir lupa. Jun ini memiliki karya yang luar biasa.

Meski memang gadis cantik berambut pendek itu terlihat begajulan dari luar, ia sebenarnya memiliki jiwa seni yang tinggi.

Tulisan yang ia buat tak pernah gagal dan itu bahkan sudah dilirik oleh beberapa penerbit.

Jun sudah kenal denganku semenjak kita masuk kuliah di jurusan yang sama --bahasa. Ia kerap kali mengganggu keseharianku, tapi kalau saja tidak ada Jun, aku pasti sengsara.

Karena apa?

Karena tak ada satupun yang akan membantuku mengerjakan tugas selain dirinya.

Dengan pelan, kami berjalan beriringan setelah mendengar denting dari lampu lalulintas yang memperbolehkan untuk menyebrang.

Jun, sedikit melompat di sampingku. Ia selalu saja tampak semangat di setiap saatnya meskipun gadis cantik itu terkadang diberikan beban menulis yang banyak oleh penerbitnya.

"Surga dunia" ujar Jun ketika aroma buku tercium di antara udara yang tengah kami hirup.

Aku terkekeh saja saat mendengarnya berucap demikian. Gadis cantik berambut pendek itu kemudian berjalan menyusuri lorong-lorong dari rak-rak buku yang tinggi sementara aku memutuskan untuk menunggu di ruang baca seperti biasanya.

"Vey?"

Seseorang memanggilku dari dekat, suaranya seperti tak asing hingga membuat aku melirik hanya untuk menemukan Aruna tengah melambai padaku.

"Ah? Hay!" aku melambai, menjawab sapaannya.

Iris matanya yang berwarna hitam gelap berbinar ketika ia menghampiriku. Ada senyum terukir jelas di bibirnya saat ia duduk di hadapanku "Sungguh merupakan sebuah kebetulan kita bertemu di sini" ia memulai setelah menyimpan buku tebal yang tadi ada di dalam genggamannya ke atas meja baca di hadapan kami.

Tak bisa dipungkiri, aku merasa sedikit gugup saat mencium kembali aroma parfumnya dan melihat sorot mata miliknya dari dekat seperti ini. Gadis tomboy ini, selalu saja menarik perhatian. Dan sialnya. Aku selalu terpana dibuatnya.

"Sedang mengerjakan tugas juga?"

Aku mengejap sesaat ketika Aruna menggumamkan pertanyaan itu dengan pelan tapi cukup jelas di gendang telingaku "Ah, tidak" jawabku seadanya.

Aruna bergerak perlahan, membenarkan poninya yang menutup alis lantas menatap padaku dalam-dalam "Lalu? Kenapa kamu di sini?" Aruna tersenyum sedikit di ujung kata membuat aku terpana barang beberapa saat pada cantiknya lekungan di wajahnya.

Ah sial. Kenapa pula gadis dihadapanku ini sangat menarik perhatian? Kharisma yang dimilikinya begitu besar hingga membuat aku tak mampu memalingkan mata darinya. Dan aku melakukan itu. Menatapnya dalam-dalam persis seperti dia memperhatikanku.

"Aku menemani Jun. Dia sedang butuh beberapa buku untuk tulisannya"

Aruna mengangguk, gadis tomboy itu kemudian melipat tangannya di depan dada lantas bersender di kursi "Anyway. Aku tidak pernah benar-benar berterimakasih atas payung yang kamu berikan waktu itu"

Rembulan (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang