Tiga

88 17 1
                                    

*****

               Tak seperti biasanya, langit terlihat begitu cerah hari ini. Padahal ini masih musim penghujan.

Rasa hangat dari mentari yang biasanya bersembunyi kini menerpa kulitku, memberikan sedikit ruam karena kulitku yang sensitif tak diolesi oleh krim.

Jun, berada di sampingku. Gadis cantik berambut pendek itu tengah memangku laptop menyala sambil sesekali mengerutkan kening mencari ide untuk tulisannya.

Sementara aku, hanya terduduk di sampingnya. Menikmati secorong eskrim rasa stroberi sambil melihat ke seluruh penjuru taman yang terlihat ramai di penghujung minggu.

"Menurutmu, untuk akhiran novelku yang satu ini, apa lebih baik menggantung atau akhiran final yang sesungguhnya?"

Aku melirik pada Jun yang sesekali menekan-nekan tombol keyboard laptopnya. Ia memangku dagu seraya menggigit bibir sesekali ketika akan mengambil keputusan.

Aku menggigit ujung sendok eskrimku, ikut bingung karena pertanyaannya. Jun terkadang meminta pendapatku soal novelnya, dan ia kerap sekali menggunakan ideku untuk tulisannya.

Sebenarnya, aku merasa ragu untuk mengatakan isi kepalaku sekarang. Karena jika saja boleh jujur, aku kurang paham dengan karya yang ia tulis.

Meski begitu, aku tetap mengujarkan apa yang ada dipikiranku untuknya "Aku lebih suka akhir menggantung. Karena itu bisa diteruskan oleh imajinasi pembaca dan memperbesar peluang kamu untuk kembali menulis di karya selanjutnya"

Jun menggigit ujung pensil miliknya "Terdengar menarik" ujarnya sambil lalu kembali fokus pada layar laptop yang sedari tadi ia tatap.

See? Kubilang juga apa. Jun pasti mengambil ideku meski terkadang itu terdengar tak masuk akal.

Jun memang seperti itu. Ia anak yang sangat spontan terhadap segala keadaan. Caranya bersikap, berekspresi, mengambil keputusan, selalu diambil secara acak sesuai dengan keinginannya. Ia bagai hidup di depan kematian.

Tak ingin menyesali kehidupan dan menikmatinya begitu saja.

Kalau dipikir-pikir, hidup seperti Jun rasanya akan menyenangkan. Beda halnya dengan aku yang selalu repot bahkan untuk memikirkan esok hari.

Hmmm... mungkin, ini waktunya aku hidup seperti Jun.

Menikmati hari ini tanpa memperdulikan esok hari.

Well, atau lebih tepatnya, menikmati setiap hari yang dilewati.

Aku melirik secara perlahan pada sobatku yang sudah begitu dekat bagaikan urat nadiku sendiri. Gadis di sampingku ini, selalu berhasil menemani hariku dan menghiasinya dengan warna-warna yang unik di setiap saatnya.

"Kamu tahu? Sebenarnya kamu itu pintar" ujarku seraya mengulurkan tangan untuk menyingkapkan sedikit anak rambut milik Jun yang jatuh ke wajahnya yang rupawan.

"Aku tahu. Kalau aku tak pintar, aku tak akan memilihmu"

Eh?? Apa maksudnya itu?





***





              Saat malam sudah tiba, aku dijemput oleh Aruna mengenakan motor besarnya. Ada sebuah helm kecil di jok belakang yang belakangan ini sudah terbiasa dikenakan olehku, dan sekarang aku bahkan sudah tak memerlukan bantuannya lagi kala menaiki motor tinggi milik gadis tomboy itu.

"Malam ini giliran kemana?" ujarku saat menerima uluran helm dan mengenakannya.

Aruna membuka kaca helmnya yang berwarna hitam "Seperti biasa. Kita akan ke bukit. Malam ini giliran full moon. Aku ingin melihat kecantikannya" jawab si tomboy seraya mengulurkan tangan padaku yang menghiraukannya.

Rembulan (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang