Delapan

130 14 12
                                        

*****

              Akhirnya. Setelah sekian lama. Hujan kembali turun membasahi bumi ketika aku baru selesai kelas Mrs. Bianca.

Aku rindu sekali dengan suara riak dedaunan yang terbasahi oleh air hujan. Harumnya petrichore, dinginnya suhu, serta basahnya jalanan yang membuat sepatu licin.

Aku terkekeh di bawah air hujan. Tak peduli kalau Papa akan memarahiku ketika beliau datang untuk menjemput.

Aku sudah rindu dengan hujan.

"Shit!"

"Eh?"

Aku melirik cepat saat mendengar runtukan yang bahkan sudah sangat aku hapal.

Suara Aruna yang begitu dekat denganku menyadarkanku dari lamunan dimana aku tengah menikmati hujan.

Aku melirik ke arahnya. Rambutnya yang tadi rapi kini terbasahi oleh air hujan, bibirnya yang tebal sedikit keunguan karena suhu yang dingin dan aku terkekeh saat melihat Aruna berusaha melindungiku menggunakan kesepuluh jemarinya.

"Kenapa hujan-hujanan?" suara si tomboy sedikit tertutup oleh gemuruh air yang jatuh dari langit.

Aku mengusap wajahku yang basah sebentar "Seperti kamu yang menyukai rembulan, aku juga menyukai hujan" jawabku seraya memutar tubuhku di bawah rintikan air hujan yang semakin banyak.

Aruna tertawa, ia merentangkan tangannya di bawah aliran air hujan. Bersamaku yang sama-sama terlihat seperti orang gila.

Saat aku mendengar guntur, aku tersentak. Dan aku berlari menuju Aruna yang tengah merentangkan tangan di kejauhan.

Gadis tomboy itu tertawa sebentar ketika ia menarikku mendekat pada tubuhnya "Kamu bilang kamu suka hujan. Kenapa kamu tak menyukai gunturnya?"

Aku menutup telingaku saat mendengar guntur yang lebih keras "Guntur itu menyeramkan" Aku mendongak padanya yang makin pucat.

Aruna tersenyum tipis, ia menjulurkan tangan lantas mengusap pipiku lembut "Jika kamu mencintai sesuatu, kamu harus mampu menerima kekurangannya. Seperti hujan yang datang dengan guntur, bulan juga datang dengan keburukan paras" ia mendekat, menutup jarak di antara kami berdua "Dan kamu harus belajar menerimanya dengan lapang dada jika kamu benar-benar mencintainya" dan dengan itu, bibir kami menyatu.

Jantungku berdebaran hebat saat bibir kami saling memaut di bawah dinginnya hujan. Aruna, tak membiarkanku bernapas barang sedikitpun. Gadis itu merapatkan tubuh kami hingga tak ada lagi jarak yang tersisa di antara kita berdua.

Dan semuanya terjadi begitu saja. Sebuah tarikan kasar tiba-tiba memisahkan kita berdua dari sesi panas barusan dan saat aku tengah menarik napas panjang, aku bisa melihat Jun memasang ekspresi marah terhadap Aruna.

"Jun?!"

"Bajingan!" satu pukulan mendarat tepat di rahang Aruna dan aku terbelalak saat aku melihat gadis tomboy itu tersungkur oleh Jun.

Belum sempat aku memproses kejadian ini, Aruna bergerak cepat guna menarik kerah milik si gadis cantik dan menjatuhkannya ke atas tanah.

Aku bisa melihat Aruna mengepalkan tangan besarnya dan hampir menjatuhkan itu pada pipi mulus milik Jun yang sedikit terkotori tanah karena terjatuh. Tapi gadis tomboy itu menahan tangannya di atas sebelum kemudian melepaskan cengkramannya dari kerah baju milik Jun.

Ia berdiri tegap lantas mengusap cairan berwarna merah kental yang keluar dari sudut bibirnya. Itu.. darah.

"Ck! Sialan!" gadis itu mengumpat di akhir kata ketika ia melihat darahnya jatuh gara-gara Jun yang lepas kendali.

Rembulan (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang