Empat

83 20 5
                                    

*****

               Musim penghujan sudah berganti. Daun-daun yang awalnya sering terbasahi oleh air, kini hanya bergoyang ketika diterpa angin. Tanah yang awalnya basah dan becek, kini bahkan dipenuhi oleh rerumputan cantik nan liar dan aku masih saja seperti ini.

Disibukkan dengan kegiatan kuliah yang semakin menumpuk di setiap harinya. Aku dan Jun kini tengah bergelut dengan pembuatan skripsi. Kami biasanya akan menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan kota hanya untuk memperlengkap tesis yang sedang kami kerjakan.

Kedekatan aku dengan Jun semakin hari semakin intim karena kami sering menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas bersama. Beda halnya dengan Aruna yang belakangan ini seolah menarik jarak dariku entah mengapa.

Bicara soal Aruna, aku masih belum menemukan arti ucapan yang dia katakan ketika di bukit tempo lalu. Perkataannya soal bulan, lalu ucapan selamat sebelum kemudian kami kembali kedalam keheningan yang sengaja ia ciptakan.

Sambil memutar pena di salah satu tanganku yang dominan, aku melirik pada Jun yang tengah mengucir rambutnya secara asal-asalan. Warna rambutnya yang awalnya begitu menyala, kini terlihat lebih tenang karena sudah banyak dicuci "Jun?"

"Ya?" gadis itu melirik dari catatannya.

Aku menggigit bibirku sejenak. Merasa terlalu kaku untuk menanyakan arti kalimat yang diucapkan Aruna terhadapku "Bisa tolong cari arti kalimat ini?" aku menulis kata-kata singkat yang diucapkan Aruna beberapa saat lalu lantas memberikan kertasku pada Jun yang langsung membacanya.

Gadis cantik berambut pendek itu tersenyum ke arahku "Dapat dari siapa?"

Dengan geram, aku menggigit bibir bawahku. Kesal karena ia tak langsung menjawab pertanyaanku saja "Teman"

"Teman?" ulang Jun dengan alis yang terangkat sesekali, menggodaku dengan ekspresinya yang selalu saja mengesalkan.

Aku mendecak "Sudah seharusnya aku tak bertanya padamu" ujarku kesal seraya merebut buku kecil yang tadi kuberikan padanya.

"Siapapun orangnya, dia pasti menyukaimu"

Leherku berderak ketika aku melirik cepat pada Jun yang baru saja berucap dengan mudahnya. Keningku mengkerut seketika "Menyukaiku?"

Aruna.. menyukaiku? Lanjutku di dalam kepala.




***


     
               Dalam diam, aku termenung ketika menumpangkan kakiku dan menggoyangnya perlahan. Aku tengah menunggu Aruna keluar dari kampus sekarang.

Tapi, sudah tiga puluh menit berlalu, Aruna tak kunjung muncul di muka kampus. Dan aku sudah lelah menunggu.

Saat mendengar suara dering ponselku berbunyi dari kantung, aku melirik ke bawah, tepat pada tas kecil yang menggantung di sisi tubuhku. Aku merogohnya perkahan untuk menemukan nomor Aruna yang langsung membuatku terkejut seketika.

Dengan cepat, aku menggeser layar ke kanan dan menempelkan benda persegi panjang itu ke telinga dan pipiku "Hay Arunaa" sapaku, dengan ceria.

Suara keheningan langsung membuatku menghentikan tawaku yang renyah. Sepertinya gadis tomboy itu tak berada di tempat yang sama denganku, itu dia alasan mengapa ia tak muncul di muka kampus meski aku sudah lama menunggu.

"Hay Vey" sapa gadis itu, dengan nada sendu yang membuat senyumku otomatis menghilang dari pipiku.

"Kenapa?"

Keheningan kembali menyiksa, detik demi detik berlalu dan aku sudah lelah menunggu.

"Aruna?"

"Ah maaf" suara gadis itu masih terdengar sendu. Tapi aku lega mendengar jawabannya, dan bukan hanya keheningan semata.

Rembulan (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang