*****
Di antara gemericik hujan, aku menatap pada Aruna yang tengah menikmati isi gelasnya. Sesekali, gadis itu berbicara dengan perempuan cantik yang menjadi pelayan di warung kecil ini. Dan entah mengapa, aku merasa menyendiri sekarang.
Pembicaraan ringan yang terjadi di antara Aruna dengan si gadis penjual membuat aku merasa kalau aku adalah orang yang tak di anggap oleh keduanya.
Meski memang Aruna sesekali melirikku dan tersenyum lembut, aku tetap merasa tertinggal. Dan jarak kami yang sempat ia kikis, kini kembali membesar.
Dari banyaknya hal yang aku ketahui soal Aruna. Aku baru sadar kalau gadis itu pandai menarik ulur kedekatan kami berdua.
Sikapnya yang seperti ini, membuat aku bingung dengan apa yang sekiranya berlabu di atas kepala milik si tomboy dan aku lelah menjadi bahan tarik ulur perasaannya.
Aku menenggak habis sisa susu di dalam gelasku sebelum kemudian menepuk punggung Aruna hingga membuat gadis itu melirik secara cepat padaku "Kenapa?" ujarnya.
Aku mengangkat bahu sebentar "Sudah tak hujan. Kita pulang saja" ujarku dengan nada sedikit memaksa.
Aruna mendekat, mengikis jarak di antara kami berdua. Tapi aku memperlebarnya lagi dengan mundur dari tempat yang aku duduki "Ada apa?" alis rapi milik Aruna yang tebal tarangkat satu.
Iris mata milik Aruna menatapku dalam-dalam, membuat aku merasakan hal yang tak aku inginkan.
Gadis itu, pandai memainkan perasaan. Dan aku tidak ingin memakan umpannya untuk kedua kalinya.
"Hanya lelah. Aku ingin istirahat" jawabku, tak sepenuhnya berdusta.
Aruna mengeluarkan dompetnya sebelum kemudian menyerahkan satu lembar uang lima puluh ribu pada si perempuan penjual.
"Simpan saja kembaliannya" ujar gadis itu sebelum kemudian ia berdiri tegap di depanku.
Tubuhnya yang tinggi menjulang membuat aku mendongak saat menatapnya "Kalau begitu, ayo. Kita pulang" ujar Aruna dengan senyum kecil di ujung bibirnya.
Aku menurut ketika gadis tomboy itu menuntun kami menuju motornya yang terparkir rapi di paling ujung. Gadis itu membuka joknya sebentar dan mengelap sisa air hujan di atas jok lantas memasukkan kembali lap berwarna kuning itu ke dalam bagasi.
Setelah membiarkan Aruna mengenakan helmnya, aku kemudian mengambil helm dari jok belakang dan mengenakan itu.
Helm berwarna biru tua yang bahkan bukan milikku kini sudah terkontaminasi oleh harumnya rambut milikku. Di sisi-sisi helmnya bahkan sudah kuberi stiker-stiker lucu berupa animasi tokoh Stich yang sesuai dengan warna helm sehingga itu menambah kesan feminim di benda bulat itu.
Aruna terkekeh sedikit saat ia melihat aku masih saja sering kesulitan untuk menyantolkan kaitan helm. Tangan gadis tomboy itu otomatis terulur guna membantuku mengenakannya.
Ada senyum manis di bibirnya ketika gadis itu menalikan ikatan helm dengan sempurna dan sialnya aku kembali terpana.
Saat menaiki punggung motor tinggi milik Aruna, aku kembali merasakan adrenalin tidak menentu dari Aruna.
Jantungku kembali berdebaran ketika Aruna menarik lenganku agar meliliti perutnya. Aroma parfum milik Aruna yang khas tercium begitu jelas di hidungku dan usapan lembut di lenganku membuat aku mau tak mau kembali jatuh pada perasaan yang sama.
Terpesona akan Aruna.
***
Aruna menghentikan motornya tepat di depan rumahku. Gadis tomboy itu kemudian mengulurkan tangan untuk membantu aku agar bisa turun secara perlahan dari motor tingginya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan (Short Story)
Short Story"Rembulan terlihat cantik jika dilihat denganmu" -Fiona Vey. "Tapi kamu lebih cantik daripada rembulan" -Aruna Miguel