1
| Perjalanan Menuju Gible Hill |
"Salah satu yang paling membuat anak-anak terkesan ialah menemukan negeri ajaib di balik pintu kamar mereka."
~Dona Fransisca.W~♤¤¤¤¤¤♤
Mimpi buruk keluarga Carpentern berawal dari sini! Ya, berawal dari kalian yang berkenan membaca kalimat ini.
Matahari nyaris tenggelam bulat saat Jovita dan kedua saudaranya Ellen beserta Nollan sampai di stasiun terdekat dari mercusuar tempat kakek dan bibi mereka tinggal, di sebuah perdesaan kecil bernama, Gible Hill.
Dengung rem bercampur kepulan asap kereta melewati jendela tanpa ragu, lalu pergerakan roda-roda melambat di dasar kursi yang mereka duduki. Saat kaki ketiganya berjajar turun menuju peron, seorang porter pria langsung mengangkat koper mereka dari bagasi penumpang, secara sopan memesankan bocah-bocah belasan tahun itu kereta kuda berkap hitam nan indah dengan kusir berseragam rapi, lengkap beserta topi tinggi dan kumis lengkung yang tidak pernah mereka temui di kota manapun sebelumnya.
Jo merapatkan ikat tali pinggangnya lalu berkata, "Aku berharap Ibu masih ada dan Ayah mau merawat kita."
"Aku malah lebih suka kalau jauh dari Ayah," sahut Ellen pelan sambil mengawasi pak kusir menaruh koper di kursi depan. "Tidak ada kekerasan, dan aku tidak akan disuruh mengepel lantai sampai kulit tanganku mengelupas." Dia mengamati kedua telapak tangannya sambil bergeleng lesu.
Si paling kecil, Nollan, bersandar miring pada tiang peron sambil melipat tangan lalu bicara, "Sebenarnya Aku suka Ayah. Tapi gara-gara Ibu tiri galak itu Ayah jadi sering memarahiku, bahkan untuk hal sepele. Wanita itu seenaknya menyuruhku mengganti popok bayinya. Memangnya siapa aku? Seharusnya dia melayani kita. Membuat kue atau menjahitkan baju bagus." Dia menghetakkan salah satu kaki kesal lalu berbalik ke arah Jo dengan wajah merah. "Seharusnya tidak begini, kan? Kak Jo!"
Jo tidak punya opsi lain selain bergeleng sambil mengusap kedua ujung kepangnya lalu naik ke kereta kuda itu. Dia dan Ellen duduk di pinggir sementara Nollan di tengah. Kursi di depan mereka di tempati barang-barang, dan Ellen kembali bicara, "Ya sudahlah, mau bagaimana lagi?" Kedua bahunya terangkat. "Kita tidak punya siapapun sekarang, selain Kakek dan Bibi En. Aku hanya berharap mereka tidak memperlakukan kita seperti pembantu."
Nollan menepuk paha Jo sengaja sambil memincingkan mata ke arah kepulan asap kereta yang bersiap memutar roda-rodanya. "Hi, lihat, kereta sudah pergi. Jika aku punya uang aku akan beli tiket ke Monaco. Bekerja di sana, menikahi gadis baik, memebeli rumah besar dan aku tidak akan punya anak perempuan."
Ellen bertanya dengan nada sedikit menyebalkan, "Simpan impianmu Nollan. Memangnya kau tahu di mana Monaco? Kau bahkan selalu lupa jalan ke toilet. Dengan sikapmu sekarang aku dan kak Jo tidak berharap banyak soal wajah istrimu kelak. Kuharap kau akan punya banyak anak perempuan."