| Rahasia Gudang Dapur|
Suara peralatan masak berdentang di bawah jarum jam dekat pintu dapur. Di sana ada Weles yang tampak memilah sayur mayur dalam susunan ember kayu. Dengan sedikit menaikkan kacamatanya lelaki berleher panjang itu menjajarkan puluhan pisau serta beberapa buah mangkuk gerabah. Suara ketukan pisau terdengar memenuhi seisi dapur, menyebar sampai ke selasar, lalu menghilang saat Ellen yang ditemani Popy berbelok ke lorong lebih tinggi.
Ellen berjalan di sebelah Popy sambil memperhatikan setiap jalan yang dilaluinya-terkadang menunduk menatap karpet, terkadang mengamati tembok yang sepertinya tidak putus-putus.
Istana ini mengingatkan Gadis itu akan mercusuar kakek Gil, terutama saat mereka melewati beragam pernak pernik kerajaan, patung-patung besi berpoles perunggu, beberapa patung hewan buas seperti, singa, macan, serta ular. Lalu tanpa alasan Popy mengoceh, menceritakan kisah tentang perjuangan Edward merebut barang-barang antik saat berperang. Bersama-sama mereka menaklukkan banyak kerajaan, perkampungan, desa-desa, dan mengalahkan para pejuang, bahkan yang terkuat sekalipun."Semua makhluk terkuat di Avelon sudah mati. Tinggal aku dan Edward. Sebenarnya masih banyak hal yang harus diurus. Tapi kurasa itu tidak perlu lagi. Ya, cuman, hanya butuh sentuhan terakhir agar Avelon menjadi negeri yang kuat."
Tanpa menghiraukan ocehan Popy, mata bundar Ellen, Sang Carpenter kecil terpaku pada lukisan seorang wanita berbalut baju perang, berparas cantik tradisional, rambutnya keriting sebahu dengan sedikit polesan warna cokelat kemerahan. (Inilah waktunya, kalian harus siap mengajak anak-anak Carpentern selangkah lebih dekat mengetahui asal usul keluarga mereka.)
Popy menarik lengan Ellen agar terus berjalan sambil menjelaskan, "Lukisan itu didapat Edward setelah menaklukan salah satu kerajaan besar di Avelon. Sudah sangat lama. Wanita itu sudah lama meninggal saat berperang. Tidak tahu di mana sisa-sisa makhluk lain yang selamat."
Ellen menoleh takut, dan dengan cekatan Popy menjulurkan tongkat besinya, dengan sekali sentakan kedua sisi tongkat itu tersedot menjadi tongkat kecil yang mudah di bawa-bawa, lalu menusuk mata gadis kecil itu dengan tatapan tajam. "Oh, ya. Kau belum memberitahukan siapa namamu?" ucapnya lembut dan bernada.
Ellen menengadah sekilas lalu menjawab percaya diri tanpa takut-takut lagi, "Ellen. Ellen Carpentern. Itu namaku."
"Oh, Ellen. Tidak terlalu buruk." Wanita berambut pendek yang di sisir rapi ke belakang itu mengangguk-angguk pelan. "Pasti kau datang dari dunia di balik Avelon, kan?"
"Kurasa begitu."
"Di mana, Ellen. Bumi, bulan, atau bintang?"
"Bumi," jawab Ellen. "Aku manusia bumi."
"Jadi manusia, Bumi, ya," ucapnya lalu melanjutkan, "Lalu di mana kau tinggal? Natel Sean? Gible Hill? Lentra Hod? Arsagon? Atau apa?"
Ellen meneleng bingung, tanpa berpikir bagaimana penyihir itu tahu nama-nama desa terpencil di duniannya, dia menjawab, "Gible Hill."