🍁Pintu Ajaib Di Lorong

61 15 22
                                    

|Pintu Ajaib Di Lorong|

Malam semakin memuncak, jarum jam nyaris menyentuh angka 12

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam semakin memuncak, jarum jam nyaris menyentuh angka 12. Jo dan Ellen yang penasaran langsung menaiki tangga ke lantai paling atas setelah Paul mengatakan di mana terakhir kali mereka bertemu. Saat memasuki ruangan pengatur jam, sama persis seperti Nollan, keduanya terpukau dan tidak bisa tidak mengatakan, "Waouwww."

Tidak seperti Nollan yang datang secara diam-diam, mereka malahan langsung menemui kakek Gil tanpa takut menyulut kemarahan. Kakek Gil yang sabar memperbolehkan mereka berkeliling sebentar, tidak lebih dari lima menit setelah tur, mereka berpapasan dengan Paul yang kebetualan hendak masuk ke ruangan itu. Di awali dari Ell yang melewati pintu, dia mengusap kedua telapak tangannya, membersihkan debu lalu menghentak kakinya yang terselubung kaos kaki merah garis putih. Lalu di ikuti Jo yang sengaja menutup pintu agar Paul tidak bisa masuk ke ruangan dengan mudah dan saat gerendel pintu kayu di ujung lorong itu tercetek .... Mula-mula Paul merasakan panas di kaki telanjangnya, cukup panas hingga membuatnya mengeluh kegerahan. "Hari ini sangat panas."

"Paul?" Jo berkata pelan, amat pelan dan nyaris tidak membuka mulut. Tenggorokan gadis itu tersekat, lidahnya membeku, bahan untuk sekedar menelan saliva.

Mata Ellen membulat ketakutan dan sontak tangannya meraih lengan Jo. "Ini bukan lorong?"

"Ehh, kalian minggir," ujar Paul membelah kedua gadis itu, lalu menyetek gerendel pintu tanpa menoleh ke arah lain. Tapi seberapa kuat dia berusaha membukanya dia tidak akan mendapati ruang Kakek Gil yang di penuhi alat-alat jam. Ya, tangan lelaki kabaret itu mendorong pintu kuat-kuat dan tubuhnya terpelanting ke luar, tapi tidak sampai membuatnya jatuh.

Ellen dan Jo yang berada tepat di bibir dalam pintu menganga, sama terkejutnya ketika mereka mendapati sebuah ruangan asing beratap-lantai jerami, busur, panah, dan seonggok nakas kayu. Tapi mereka tidak seberuntung Nollan yang langsung di sambut berbagai hidangan lezat.

"Di mana kita? Kenapa tiba-tiba...?" Ellen merapatkan tubuh ke arah Jo dan mereka berpelukan keluar dari tempat itu. Tentu telapak kaki mereka terasa panas seperti terbakar. Ini adalah musim panas, musim panas panjang yang tidak pernah mereka duga-duga. Di mana pepononan dapat tumbuh subur dengan berbagai warna alami nan indah seperti dalam dongeng. Dedaunan kuning berjatuhan terhembus angin, bunga-bunga bermekaran menghampar di antara rerumputan, kicauan burung bernada saling bersahutan, dan cahaya matarai yang menyengat menyorot menimpa tubuh mereka dari celah padat dedaunan.
Sengatan sinar itu menembus pori halus mereka, dan mengharuskan salah satu tangan Jo menadah di atas pelipis, dan tidak lupa jemari satunya menggenggam tangan Ellen erat. Gadis dua belas itu merasakan ketakutan sama seperti pertama kali kakinya turun dari kereta menuju mercusuar. Tapi dia terus mencoba membuang ketakutan itu jauh-jauh.

Paul berputar memandang sekitar, sesekali mendongak. "Kita di mana?" tanyanya kepada kedua saudarinya.

Jo bergeleng pelan, "Andai aku tahu di mana kita sekarang. Aku tidak akan ketakutan."

ARVELON : The Little CarpenternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang