Rahasia

44 0 2
                                    

Rain tengah duduk sendirian di kantin kampus. Didepannya ada sebuah laptop dan segelas jus strawberry. Jemari tangannya sibuk memainkan keyboard laptopnya.


"Hey" suara cempreng seseorang tiba-tiba menusuk telinga Rain. Ia begitu hafal pasti itu suara Inez. Rain segera mendongak lalu tersenyum tipis. Kini Inez sudah duduk di depannya.

"Kok sendirian ? yang lain mana ?" tanya Inez. Rain menggidikkan bahunya.

"Alano belum berangkat. Terus Vania sama Bintang di pengajaran. Karin entah kemana" lanjut Rain kemudian.

"Oh" ucap Inez singkat.

Rain menatap Inez lekat. "Gimana hubungan lo sama Moza ?"

Inez mendengus. "Udah deh jangan bahas itu lagi. Gue udah lupain soal Moza. Gue udah males sama dia"

Rain sedikit menutup laptopnya. "Iya, cowok kayak gitu nggak usah dipikirin. Mending mikirin gue"

"Hahaha.. apa lho ?" Inez sedikit malu-malu.

"Gue rasa perasaan gue berubah. Biasa, nyaman, deg-deg an, dan sekarang takut kehilangan" Rain masih menatap mata Inez lekat.

"Maksudnya ?"

Rain menggeleng. "Enggak"

"Hisss PHP" sungut Inez.

'Masa lo nggak bisa ngrasain sih Nez ? gue suka sama lo' batin Rain sambil tertawa-tawa sendiri. Rain menyadari perasaan ini setelah mereka sering bersama. Setiap Inez bercerita tentang hubungannya dengan Moza, Rain selalu mencuri-curi untuk bisa meraih hati Inez. Dan seiring berjalannya waktu perasaan itu mulai berkembang.

Begitu juga dengan Inez. Ia merasa nyaman berteman dengan Rain. Bahkan ia juga sering bermanja dengan Rain. 'Seandainya aja Moza itu kayak lo Rain' batinnya ketika Rain mencoba mengembalikan semangatnya saat ia mulai rapuh. Rain selalu ada ketika Inez membutuhkan. Sekarang Rain dan Inez hanya terdiam mencoba berbicara dengan perasaannya masing-masing.

***

Bintang merasa sedikit gerogi ketika berada di samping Ravi. Keringat dingin mulai keluar dari telapak tangannya. Sesekali Bintang mencuri-curi untuk memandang wajah Ravi. Ia sangat ingin menyapa Ravi, tapi entah apa yang membuat mulutnya tak bisa terbuka. Mulutnya selalu tercekat saat melihat Ravi.

Ravi nampak mencari-cari sesuatu di tasnya. Bintang pun segera berinisiatif menyerahkan pulpen miliknya pada Ravi. "Lo butuh ini ?" Ravi menoleh ke arahnya. Ia tersenyum dan meraih pulpen yang diberikan Bintang.

'Satu senyuman lo bisa buat gue semangat lagi Rav. Terimakasih Tuhan, engkau sudah menghadirkan seribu kebahagiaan untukku pagi ini' ucap Bintang dalam hati.

"Bintang.. Bintang, lo nggak papa ?"Ravi mengguncang-guncang pundak Bintang yang sedari tadi senyam-senyum sendiri.

"Ha ... ee ..ee sorry sorry kenapa ?" kali ini Bintang sudah tersadar dari lamunannya.

"Ini pulpennya, makasih" Ravi menyerahkan pulpen pada Bintang dan berlalu pergi. Pandangan Bintang mengikuti arah perginya Ravi.

"Sama-sama Rav" ucapnya lirih sambil terus tersenyum.

"Bintang lo kenapa sih ? sakit ?" seru Vania yang baru saja datang.

"Heh ?! oh, emmm nggak papa kok. Ohya, gimana ? udah ?" kata Bintang gelagapan. Vania hanya mengangguk bingung dengan kelakuan sahabatnya ini.

"Yaudah yuk" Bintang menarik tangan Vania. Vania mengikutinya dari belakang.

"Kayaknya lo lagi bahagia banget, kenapa sih ?" tanya Vania yang kini sudah berjalan disamping Bintang.

Meraih BayangmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang