⋇⋆✦⋆⋇
⠀ ️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️⠀
Ruang tamu dengan cat tembok berwarna cream hangat itu belum memiliki banyak furnitur. Hanya ada sebuah sofa untuk dua orang dan meja kayu berulir yang memang disediakan sedari awal oleh pemilik rumah.Seseorang mengetuk pintu kediaman mereka. Bunyi yang dihasilkan seirama dengan langkah kaki Wadya saat menghampiri sumber suara. Dua bungkus plastik berpindah tangan ke genggamannya. Pesanan delivery yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga,
Jemari Yema menggeledah lemari kabinet, mencari benda yang berbentuk lengkung dan yang memiliki empat jari berbahan alumunium. Ketika menemukannya, Ia menyusunnya rapi di samping plastik makanan itu.
“Punyaku yang mana?” Aroma saus kacang dan arang menyeruak memenuhi ruangan. Tangan Yema mengeluarkan kotak nasi dari plastik yang membungkusnya.
“Keduanya sama saja,” jawab Wadya. Sofa berwarna coklat tua berbahan kulit, menjadi tumpuan duduk mereka kala keduanya tengah menikmati makan siang tanpa gangguan. Hawa panas terasa jelas di kulit, karena matahari bersinar begitu terik di luar.
Wadya menangkap gerak-gerik Yema yang terlihat tidak nyaman. Yema berulang kali mengibas kerah kaos, melipat tinggi lengan bajunya, dan mengipas-ngipas wajah penuh keringatnya dengan tangan hampa.
Sebelum menyalakan pendingin ruangan, Wadya mengunci jendela yang sejak kedatangan mereka sengaja dibuka. Semilir angin dingin mulai terasa tipis-tipis. Yema mengucapkan terima kasih dengan mulut yang sedang mengunyah, tak menduga akan perilaku Wadya.
Suara dering telepon menggema ke seluruh ruangan. Sejenak Yema mengesampingkan kegiatan makannya, dan bergegas meraih ponsel miliknya. Deretan angka tidak dikenal mengisi layarnya, Yema mengetuk-ngetuk pinggir ponselnya, menimbang haruskah ia menggeser tombol hijau atau membiarkannya.
Panggilan itu berhenti sebelum Yema dapat mengangkatnya. Ia kembali ke kursinya, hendak melanjutkan kembali kegiatan yang tertunda.
Selang beberapa waktu, layar ponsel menyala lagi. Menampilkan baris nomor yang sama seperti sebelumnya. Kali ini, tanpa ragu Yema menjawabnya.
“Dasar jalang binal! Aktris gagal tak tahu diri! Mati saj—”
Sepatah kata belum keluar dari bibirnya. Ibu jari Yema menekan tombol merah di layarnya secara agresif, mengakhiri panggilan tak menyenangkan itu.
Wadya mengangkat alisnya, Ia dan Yema bertukar pandang. Enggan menjelaskan, Yema memilih untuk mengarang cerita.
“Ah, pinjol. Aneh, siapa juga yang butuh pinjaman?” Tawa kecil lolos dari mulutnya. Mode dering diubah ke mode diam, khawatir panggilan yang sama terulang lagi.
Kosong. Mata kecoklatan milik Yema itu terkunci pada kotak nasi di tangannya. Nafsu makan hilang begitu saja bak dibawa angin, padahal perutnya sudah berisik untuk waktu yang cukup lama.
Kotak nasi Wadya berada di tempat sampah, bersamaan dengan plastik-plastik yang tadi membawanya. Lagi-lagi, gelagat Yema mengkhawatirkannya. Namun, Ia masih merasa jauh, tak begitu akrab dengan wanita yang kini tinggal serumah dengannya.
“Kau sudah selesai?” Alih-alih bertanya kenapa, justru pernyataan tak penting yang ia lontarkan.
Nasi kotak itu akhirnya muncul lagi di pandangan Yema, tadinya hanya ada gambar gelap dan buram yang mengisi penglihatannya. Yema menarik nafas dalam-dalam, berusaha menyingkirkan kegelisahan yang mulai merambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married Once (On Going)
FanfictionYema, aktris pendatang di dunia perfilman. Ia memiliki sejuta pengikut di akun sosial medianya, dan dikenal sebagai pribadi yang ceria juga menggemaskan. Wadya, idol populer yang dielu-elukan banyak penggemarnya. Pembawaanya yang tenang dan karisma...