IV. EP 3 - Searching For Home.

117 18 0
                                    

️️ ️️⋇⋆✦⋆⋇
️️ ️️
️️ ️️

Yema turun dari mobilnya. Sang manager mengatakan bahwa ia akan menunggu disini, di parkiran basement agensi Wadya.

Meski tertutup masker dan topi hitam, penampilannya dikenali oleh seorang satpam yang berjaga.

"Tamunya mas Wadya?"

Yema mengangguk. Ia mengikuti langkah kaki sang satpam menaiki lift khusus yang hanya bisa diakses dengan kartu.

Lantai 5 menjadi tujuannya. Yema juga membawa dua gelas es kopi di tangannya. Denting bel otomatis berkumandang, tanda ia sudah sampai di destinasinya.

Sang satpam menuntunnya ke sebuah ruangan tertutup, dari sekian banyak tempat yang ada. Yema menduga, bahwa sepertinya tempat ini dikhususkan sebagai ruang meeting.

Pintu diketuk, seseorang dari dalam membukanya. Yema mengucapkan terima kasih, ketika satpam itu kembali ke tempatnya yang semula.

"Mari," ajak Wadya yang sudah menunggu sejak tadi. Yema memasuki ruang meeting itu yang di cat serba putih, lengkap berisikan meja kecil yang dikelilingi empat kursi.

Wadya mempersilahkan Yema duduk. Keduanya mengambil posisi saling berhadapan satu sama lain.

"Ini, tadi ku beli sebelum kemari." Yema menyodorkan segelas kopi kepada Wadya. Ia menyeruput sedikit minuman miliknya.

"Saya langsung bicara intinya saja, sepertinya akan lebih baik kalau kita berinteraksi sewajarnya."

Kalimat itu sulit dicerna oleh Yema. Ia malah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, alih-alih memberikan tanggapan.

"Tunggu, aku tidak mengerti," ungkap Yema.

Wadya menenggak minumannya. Rasanya ia perlu menjelaskan lebih detil, terkait maksud ucapannya.

"Itu karena saya, agak kurang nyaman dengan skinship atau peristiwa yang sulit untuk diduga. Misalnya, seperti insiden kaus beberapa waktu lalu," jelas Wadya dengan harapan Yema merasakan hal yang sama.

"Ah.." Yema mengangguk. Memang benar ide kaus pasangan tempo lalu itu adalah idenya, dan mungkin itu membuat Wadya sedikit tidak nyaman.

"Baiklah, aku minta maaf jika itu membuatmu tidak nyaman."

Wadya menggeleng, ia juga mengayunkan kedua tangannya sebagai tanda tidak setuju.

"Bukan, bukan itu maksud saya," balas Wadya. Kata demi kata yang sudah ia susun sebelumnya, sudah lenyap ketika bertemu Yema di ambang pintu.

"Lalu apa.. Oh, apa berarti interaksi seperti yang kemarin termasuk interaksi yang tidak wajar?" Pertanyaan itu sukses membuat Wadya merenung. Tiba-tiba, ia juga kebingungan dengan kalimatnya sendiri.

"Tidak juga.. Maksud saya, untuk kedepannya."

"Ah, apa kau sudah punya kekasih?" Menurut Yema, tebakan itu adalah yang paling masuk akal dari semua kemungkinan.

"Tidak, bukan seperti itu," jawab Wadya.

"Lalu, interaksi yang sewajarnya itu seperti apa? Terlebih lagi, kita disini berperan sebagai suami dan istri," terang Yema.

Wadya frustasi. Ia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab Yema, walau sebenarnya apa yang dikatakan Yema juga benar adanya.

Sejenak Ia lupa dengan fakta, bahwa mereka tengah memerankan peran suami dan istri.

Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka lebar. Juno dan Haidar, yang juga merupakan anggota satu grup Wadya masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu.

"Bang, pinjem duit seratus," ucap salah satu dari mereka.
Yema terdiam, ia berusaha menahan tawanya melihat situasi aneh ini.

Married Once (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang