III. EP 2 - Couple Tee.

123 18 2
                                    

️️ ️️⋇⋆✦⋆⋇
️️ ️️
️️ ️️

Kini Yema dan Wadya duduk semeja di sebuah restoran pinggir danau taman itu, tempat mereka melakukan rekaman untuk project acara televisi mereka. Suara gemericik air terdengar jelas hingga telinga, kilat pantulan cahaya matahari ke atas danau, menambah keindahan suasana tempat itu. 

"Okay, we'll start right away ya," seru sang PD sembari memberikan sejumlah arahan kepada anggota kru yang bertugas. 

Lampu merah kecil, menyala. 

Seorang pelayan, berdasarkan isyarat seseorang, berjalan ke arah dua orang yang menjadi sorotan banyak kamera. Ia memberikan buku menu, serta sejumlah complimentary drink yang dapat dinikmati secara cuma-cuma. 

"Menu apa yang paling banyak dipesan?" Yema mendongakkan kepalanya kepada sang pelayan, berusaha meminta rekomendasi dari sekian banyak menu yang ditawarkan. 

"Menu favorit di restoran kami ada Premium Beef Steak, Red Lasagna, juga Aglio Olio Pasta," jelas sang pelayan. Jemarinya ia bawa menelusuri setiap lembar buku menu. 

Wadya mengangguk pelan, ia sesekali melirik ke arah Yema.

"Aku pesan Steak, kalau kau?"

"Kalau begitu dua Premium Beef Steak, terima kasih." Wadya mengembalikan buku menu di tangannya kepada sang pelayan. Pelayan itu kemudian pergi, mempersiapkan pesanan keduanya. 

Yema dan Wadya saling bertukar pandang. Lagi-lagi angin kikuk menghampiri keduanya, yang baru saja bertemu hari ini. 

"Tidakkah kau merasa kita terlalu kaku?" Yema tertawa kecil, ia merapikan helaian rambutnya yang tertiup angin. 

"Saya rasa, begitu," balas Wadya. Tampaknya ia terlihat lebih gugup dibandingkan Yema, sampai-sampai memberikan respon tak berbobot seperti itu. 

"Benar 'kan? Mungkin kita bisa mulai dengan memberikan nickname masing-masing," usul Yema. Saran itu dipandang aneh oleh Wadya. Bukankah memberikan nama panggilan khusus antara satu sama lain baru dapat dilakukan setelah sudah lama saling mengenal?

"Secepat ini?"

"Apanya?" Yema mengerjapkan sepasang matanya, kebingungan. Wadya mulai sedikit paham dengan karakter Yema yang spontan dan diluar nalar. Ia tersenyum tipis.

"Baiklah, panggilan apa yang cocok untuk saya?" Wadya balik bertanya, ia tergelitik dengan usul unik Yema yang menurutnya menarik untuk dibahas.

"Oh.. Aku belum memikirkan itu.." Yema menopang dagunya. Kepalanya berpikir keras, tanpa melepaskan pandangan dari pria di hadapannya. 

"Bagaimana kalau, Dwaya?" 

"D-dwaya?" 

"Terlalu simple ya? Ah, kurasa aku memerlukan waktu untuk memikirkannya."

Wadya mengangguk. Ia sebetulnya tidak masalah, hanya sedikit terkejut. Berselang beberapa waktu, sang pelayan tadi datang lagi dengan membawa pesanan mereka. 

Bunyi pisau berbenturan dengan piring kaca menghilangkan keheningan diantara keduanya. Wadya mengiris daging dengan porsi kecil agar mudah dimakan. Kemudian dia menukar piringnya, dengan piring Yema.

"Ooo," seru Yema. Ia tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini. Pantas saja ia punya banyak penggemar wanita. 

"Kau tidak perlu melakukan itu." Yema menyantap potongan daging di piringnya. Raut wajahnya berubah, ketika rasa nikmat memenuhi mulutnya.

"Tapi kau memakannya kan?" Wadya akhirnya selesai. Ia juga menyantap satu gigitan. 

Lembut, tapi juga renyah. Tingkat kematangan dan kekenyalan daging yang sangat pas, menciptakan sensasi tersendiri bagi penikmatnya.

Married Once (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang