⋇⋆✦⋆⋇
⠀
️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️Sinar keemasan sang mentari menembus tirai yang menutupi jendela dan pintu kaca. Pagi yang cerah menyambut kediaman Wadya dan Yema. Wadya menyilangkan kakinya di atas sofa, sementara tangannya mengampu semangkuk sereal.
Meja makan yang mereka pesan kemarin belum datang, kemungkinan baru sampai dua hingga tiga hari kemudian. Sebagai akibatnya, ruang tengah menjadi pusat dari segala aktifitas. Yema baru saja membuka matanya, dan langit-langit menjadi pemandangan pertama yang ia lihat hari ini.
Denyut nyeri samar-samar melewati kepalanya. Semalam ia minum melebihi batasnya, sampai-sampai tak mampu mengingat bagaimana dirinya bisa berbaring dan beristirahat dengan nyenyak di atas tempat tidur.
Suara sendok aluminium berbenturan dengan melamin berdendang melewati gendang telinganya. Ia teringat, bahwa Ia tidak tinggal sendiri di rumah ini.
Lampu merah kecil, menyala.
"Selamat pagi," sapa Wadya ketika ia melihat Yema melangkah keluar dari kamar tidur. Yang disapa menggaruk tengkuknya, tubuhnya berbalut piyama dan rambutnya pasti berantakan. Untuk pertama kalinya, penampilan ini ia perlihatkan pada orang lain, selain manajer dan keluarganya.
"P-pagi," balas Yema setengah gugup. Ia memutuskan untuk mengambil air terlebih dahulu, berusaha meredakan pening yang sejak bangun tidur menghinggapinya. Sebuah pil obat ditelannya, berharap pengar dan sakit kepalanya dapat segera mereda.
Yema berjalan lemas, menghampiri Wadya yang telah menghabiskan sarapan miliknya. Ia merilekskan punggungnya, dan bersandar lembut pada sandaran sofa. Pagi baru saja dimulai, tapi rasanya kantuk malah datang lagi. Saat hendak memejamkan kelopak matanya, sebuah benda asing berlabuh di pucuk kepalanya.
Jemari Wadya menyisir halus helai rambut Yema yang tak beraturan itu, setelah mangkuk kosong ia pindahkan ke atas meja. Merinding, sekujur bulu di tubuhnya berdiri. Yema menelan ludah, melalui sudut matanya ia memandang kikuk ke arah Wadya.
"Kau tak sarapan?" Pertanyaan itu dilontarkan dengan santai, tanpa beban. Entah apa yang ada dipikiran Wadya, sehingga menganggap perlakuannya normal.
Yema menegakkan tubuhnya, tak lagi dalam posisi bersandar, yang secara otomatis berhasil membuat Wadya menarik kembali tangannya.
Sebuah gelengan ia berikan sebagai jawaban. Sarapan memang bukan kebiasaannya, takut sakit perut kerap kali ia gunakan sebagai dalih untuk menghindari makan pagi. Yema menarik nafas pelan, menata ulang degup jantungnya yang seolah akan loncat dari tempatnya.
Wadya bangkit dari posisi duduknya, membawa mangkuk itu kembali ke tempat asalnya usai dibersihkan secara menyeluruh. Ia punya jadwal yang cukup padat dari pagi hingga sore hari nanti, karenanya ia perlu bergerak cepat agar terhindar dari kata terlambat.
"Yema dan Wadya, hari ini ada waktu kosong?" Suara sang PD mendapat atensi dari kedua orang yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Saya ada jadwal dari pagi hingga petang hari nanti," jawab Wadya seraya kembali duduk di sofa. Sepertinya tak beradab jika ia bersiap-siap sekarang.
"Aku ada janji ke klinik pagi ini, dan meeting di siang hari," ujar Yema. Ia memang tak sesibuk biasanya, berhubung belum ada project yang mengikat kesehariannya.
Sang PD mengulas senyum di ujung bibirnya. Ide yang telah ia rancang semalaman, tampaknya dapat terwujud hari ini.
"Kalau begitu malam ini kalian kosong ya?" Keduanya mengangguk bersamaan, menanggapi pertanyaan yang diajukan kepada mereka. "Kalau begitu, bagaimana dengan kencan kedua?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Married Once (On Going)
FanfictionYema, aktris pendatang di dunia perfilman. Ia memiliki sejuta pengikut di akun sosial medianya, dan dikenal sebagai pribadi yang ceria juga menggemaskan. Wadya, idol populer yang dielu-elukan banyak penggemarnya. Pembawaanya yang tenang dan karisma...