Bab. 4

17 1 0
                                    

“Rima, ...!”

Adam terkejut. Luar biasa terkejut. Saat ia masuk ke kamar yang Rima gunakan untuk tidur. Lihat, bahkan istrinya sudah pindah ke kamar bawah, tapi Adam tak menyadarinya.

Netranya menangkap gerakan yang begitu tenang dari jemari yang tak terlalu halus itu, memindahkan satu per satu helaian pakaian dari lemari kecil yang ada di dalam kamar itu kedalam sebuah tas hitam yang warnanya sudah mulai memudar.
Rima menoleh sebentar, dengan senyum yang tak sampai ke matanya. Perempuan yang sudah terbiasa ditempa kemiskinan dan digempur kesusahan, begitu kuat dan tegar menerima rasa sakit yang ditorehkan oleh suaminya sendiri.

Jelas terlihat senyum di wajah sembab itu berusaha menutupi luka yang masih berdarah.

“Maaf, Mas. Aku nggak sempat masak. Dan mas harus terbiasa setelah ini. Makan diluar ataupun makan masakan dia nanti.”





Lagi Rima tersenyum, membuat jantung Adam terasa luruh. Jelas kesakitan itu begitu kuat. Sakit yang Adam torehkan. Namun istrinya berusaha terlihat baik-baik saja.

“Akan kemana?”

Adam bukan sedang menanyakan makanan ataupun sedang lapar. Ah, Adam baru ingat, ternyata selama ini ia begitu bergantung pada Rima. Urusan pertama lelaki ini hamir dua tahun ini menjadi perhatian Rima.





Dan selalu, Adam akan terburu pulang hanya untuk secepatnya menyantap apa yang Rima masak. Kecuali tiga bulan ini. Sebab sepulang bekerja, Adam akan singgah di hotel menemui perempuan yang sudah menunggu dirinya.

“Aku harus tahu diri, Mas. Aku tak layak berada disini. Jadi, aku akan pulang dimana seharusnya aku berada.”

Rima mengerjap, berusaha menahan laju bulir embun yang akan pecah dari kelopak mata indahnya.

Memang seharusnya Rima di kampung saja. Sebab kehidupan di kota ternyata jauh lebih keras.

Bila di desa dia hanya perlu menambah tenaganya untuk bertani. Mungkin setelah ini Rima akan belajar mencangkul tanah sisa di halaman belakang rumah peninggalan orang tuanya. Menanam sayur atau umbi-umbian agar tak kelaparan sebelum masa panen datang.

Membayangkan untuk kembali pada kehidupan lamanya, membuat Rima menarik nafas panjang. Baru membayangkan saja sudah terasa berat.

Salahnya Rima. Dia terlalu membanggakan katanya SMA yang dia miliki.



“Aku akan ke kota mencari kerja. Ijazah SMA katanay dibayar UMR,” ucapnya pada Hasnia. Sepupu sekaligus sahabatnya dari kecil.

“Apa tak di desa saja, Rim? Kita bisa bekerja di toko baju atau  membantu bu Samin di pasar. Lumayan beliu bayar kita tiga puluh ribu sehari.”

Jujur, Hasniah merasa kasihan sekalgus khawatir pada Rima. Mereka berdua sudah bersama sejak kecil. Tahu suka duka dan kekurangan yang mereka alami. Namun tak sekalipun keduanya mengeluh atapun ribut.
Bahkan sejak orang tua Rima meninggal dunia, Hasnialah yang menemani dirinya jika malam hari. Atau terkadang Rima yang akan tidur di rumah sepupunya itu.

Tapi jika Rima pulang ke kampung nanti, dia sudah tak ada teman seakrab Hasnia. Sebab perempuan berkuning langsat itu sudah tinggal di Kalimantan. Ikut suaminya yang bekerja disana.

Beberapa warga desa mereka memang memilih merantau, terutama yang laki-laki. Sebab desa mereka hanya mengandalkan hasil panen, padi atau jagung yang bisa dinikmati hasilnya setiap tiga atau empat bulan.

Tenaga yang dikeluarkan untuk menggarap sawah, begitu memeras keringat. Namun hasilnya tak seberapa. Dijual pun tak bisa mahal-mahal.

“Disini sajalah di kampung kita, Rim. Kamu bisa kerja di toko baju milik bu Saida. Sekalian kamu bisa melihat ibu dan bapak. Sebab aku akan ikut mas Armin ke Kalimantan. Lagian, si Agung itu-putranya bu Saida, kelihatannya suka sama kamu!”

Rima- LUKA DALAM PERNIKAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang